Senin, 04 Juni 2012

Sejatine Urip

SEJATINE urip kuwi ora mung mampir ngombe, anging kangge nglampai printahe Gusti Allah ingkang moho Suci. Yo meniko kang diarani ibadah.
Ngombe iku amung kangge lantaran supados iso tetep sehat anggene nglampai ibadah. Dadi ngombe niku mboten dadi tujuane wong urip ing alam dunyo. Malahan, nek kakean ngombe sampai lali ibadah meniko iso ndadosake ciloko. Naudzubillahi mindzalik
Yo elingo wae, Allah Swt meniko mboten butuh panjenengan (menungso lan jin) sregep ibadah, anging menungso lan jin ingkang butuh ibadah marang Gusti.
Allah wes nduduake dalan ingkang lurus ben nglampahi urip saget slamet dumugi akhirat. Nggih supados angsal karidhone Gusti ingkang Moho Agung.
Urip kuwi sejatine ngadepi ujian, sing sampun diatur Gusti Allah. Ujiane urip ora mandeg sampai ruhipun utowo ajalipun menungso dipun pundut ing ngarsonipun Pengeran.
Ora ono tiang gesang sing mboten anggadahi persoalan (ujian). Sak pinter-pintere menungso, sak sugih-sugihe, sak hebat-hebate uwong mesti ngadepi persoalan.
Nggih saget masalah pekerjaan, saget masalah keluarga, utang piutang lan lintu-lintunipun. Yo meniko kabeh bagian ujian saking Allah.
Ngadepi ujian meniko mesti kudu sabar. Dikerjake nganggo sikap sing tenanan, serius, ngangge peritungan. Ojo ngadepi masalah ngangge nafsu emosi, opo meneh putus asa.
Ora ono masalah sing ora iso dituntaske kanti jalan bener. Nek ngatasi ujian ngangge pikiran tenang, jernih lan ati sing jembar, Insya Allah kabeh kesulitan saget dirampungi kanti hasil sing apik.
Yo jenenge ujian kuwi ono sing gampang lan ono sing angel. Mulo nuntas-akene nggih kanti ngangge itungan sing tepat. Kabeh usaha mesti ono hasil. Menawi hasile dereng sempurno, yo dadeke pelajaran. Lan saene nggih digoleki opo sebabe iso ora sempurno. Nek wis reti sebabe, tentu saget didadeke pengalaman menowo wonten ujian ingkang sami.
Ujian yo nggawe menungso tambah dewoso, dewoso nyikapi perkoro lan ukoro teng dunyo. Ningkate derajat ngelmu meniko yo kerono iso ngliwati ujian kanti sae. Nah roso syukur saget ningkatake hasil dateng punopo mawong ingkan sampun dilampai. Hasil ujian luwih apik nek dibarengi rasa syukur, rezeki dadi berkah nek dibarengi syukur, ati yo melu adem, perasaan tentrem.
Kabeh tuntunan urip sejatine sampun dipun gambarake teng Alquran dan Hadits. Ibadah sholat sing diwajibkan saben dino ping limo, nggih nglatih disiplin wektu lan mulang sabar. Meski sibuk kerjo, ora entok lali anggene nglampai sholat limo wektu. Nek menungso iso nglampahi sholat tepat waktu, Insya Allah atine dadi tertata. Ora kemrungsung, ora kesusu, ora emosinan tur awake seger dadi gampang senyum karo mahluke Allah.
Sholat nggawe awak seger ora mung lantaran awake gerak wektu takbir, rukuh lan sujud. Anging roso seneng ngadep Pengeran Kang Moho Penyayang. Sholat memang kangge ukuran sepiro roso senengeni menungso marang Allah. Mulo sholat diarani tiang agama, pondasi keimanan, wujud bektine menungso marang Gusti.
Menawi katresnanan marang Gusti diwujudake sholat lan nglampahi penopo ingkang dipun prentah dan nebihi utowo ngadohi punopo-punopo ingkang dipun larang, Insya Allah, Gusti Kang Maha Agung yo bakal maringi imbalan kawelasan rupi Surgo. Alhamdulillah.
Baca SelengkapnyaSejatine Urip

Kamis, 31 Mei 2012

Sunan Gunung Jati



Asal-usul

Dalam usia masih muda Syarif Hidayatullah ditinggal mati oleh ayahnya. Ia ditunjuk untuk menggantikan kedudukannya sebagai Raja Mesir. Tapi anak muda yang masih berusia dua puluh tahun itu tidak mau. Dia dan ibunya bermaksud pulang ke tanah Jawa berdakwah di Jawa Barat. Kedudukan ayahnya itu kemudian diberikan kepada adiknya yaitu Syarif Nurullah.

Sewaktu berada di negeri Mesir, Syarif Hidayatullah berguru kepada beberapa ulama besar di daratan Timur Tengah. Dalam usia muda itu ilmunya sudah sangat banyak, maka ketika pulang ke tanah leluhurnya yaitu Jawa ia tidak merasa kesulitan melakukan dakwah.

Perjuangan Sunan Gunungjati
Seringkali terjadi kerancuan antara nama Fatahillah dengan Syarif Hidayatullah yang bergelar Sunan Gunungjati. Orang menganggap Fatahillah dan Syarif Hidayatullah adalah satu, tetapi yang benar adalah dua orang. Syarif Hidayatullah cucu Raja Pajajaran adalah seorang penyebar agama Islam di Jawa Barat yang kemudian disebut Sunan Gunungjati. Sedang Fatahillah adalah seorang pemuda Pasai yang dikirim Sultan Trenggana membantu Sunan Gunungjati berperang melawan penjajah Portugis. Bukti bahwa Fatahillah bukan Sunan Gunungjati adalah makam dekat Sunan Gunungjati yang ada tulisan Tubagus Pasai fathullah atau Fatahillah atau Faletehan menurut lidah orang Portugis.

Syarif Hidayatullah dan ibunya Syarifah Muda’im datang di negeri Caruban Larang Jawa Barat pada tahun 1475 sesudah mampir dahulu di Gujarat dan Pasai untuk menambah pengalaman. Kedua orang itu disambut gembira oleh Pangeran Cakrabuana dan keluarganya. Syekh Datuk Kahfi sudah wafat, guru Pangeran Cakrabuana dan Syarifah Muda’im itu dimakamkan di Pasambangan. Dengan alasan agar selalu dekat dengan makam gurunya. Syarifah Muda’im minta agar diijinkan tinggal di Pasambangan atau Gunungjati.

Syarifah Muda’im dan putranya yaitu Syarif Hidayatullah meneruskan usaha Syekh Datuk Kahfi membuka Pesanteren Gunungjati. Sehingga kemudian dari Syarif Hidayatullah lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunungjati. Tibalah saat yang ditentukan, Pangeran Cakrabuana menikahkan anaknya yaitu Nyi Pakungwati dengan Syarif Hidayatullah. Selanjutnya yaitu pada tahun 1479, karena usianya sudah lanjut, Pangeran Cakrabuana menyerahkan kekuasaan Negeri Caruban kepada Syarif Hidayatullah dengan gelar Susuhunan artinya orang yang dijunjung tinggi.

Disebutkan, pada tahun pertama pemerintahannya Syarif Hidayatullah berkunjung ke Pajajaran untuk mengunjungi kakeknya yaitu Prabu Siliwangi. Sang Prabu diajak masuk Islam kembali tapi tidak mau. Meski Prabu Siliwangi tidak mau masuk Islam, dia tidak menghalangi cucunya menyiarkan agama Islam di wilayah Pajajaran.

Syarif Hidayatullah kemudian menlanjutkan perjalanannya ke Serang. Penduduk Serang sudah ada yang masuk Islam dikarenakan banyaknya saudagar dari Arab dan Gujarat yang sering singgah ke tempat itu. Kedatangan Syarif Hidayatullah dijodohkan dengan putri Adipati Banten yang bernama Nyi Kawungten. Dari perkawinan inilah kemudian Syarif Hidayatullah dikaruniai dua orang anak yaitu Nyi Ratu Winaon dan Pangeran Sebakingking. Dalam menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa, Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunungjati tidak bekerja sendirian, beliau sering ikut bermusyawarah dengan anggota wali lainnya di Masjid Demak. Bahkan disebutkan beliau juga membantu berdirinya Masjid Demak.

Dari pergaulannya dengan Sultan Demak dan para wali lainnya ini akhirnya Syarif Hidayatullah mendirikan Kesultanan Pakungwati dan ia memproklamirkan diri sebagai Raja yang pertama dengan gelar Sultan. Dengan berdirinya Kesultanan tersebut Cirebon tidak lagi mengirim upeti kepada Pajajaran yang biasanya disalurkan lewat Kadipaten Galuh.

Dengan bergabungnya prajurit dan perwira pilihan ke Cirebon maka makin bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Pakungwati. Daerah-daerah lain seperti: Surantaka, Japura, Wanagiri, Telaga dan lain-lain menyatakan diri menjadi wilayah Kasultanan Cirebon. Lebih-lebih dengan diperluasnya Pelabuhan Muara Jati, makin bertambah besarlah pengaruh Kasultanan Cirebon. Banyak pedagang besar dari negeri asing datang menjalin persahabatan. Diantaranya dari negeri Tiongkok. Salah seroang keluarga istana Cirebon kawin dengan Pembesar dari negeri Cina yang berkunjung ke Cirebon yaitu Ma Huan. Maka jalinan antara Cirebon dan negeri Cina makin erat.

Bahkan Sunan Gunungjati pernah diundang  ke negri Cina dan kawin dengan putri kaisar Cina yang bernama Putri Ong Tien. Kaisar Cina yang pada saat itu dari dinasti Ming juga beragama Islam. Dengan perkawinan itu sang Kaisar ingin menjalin erat hubungan baik antara Cirebon dengan negeri Cina. Hal ini ternyata menguntungkan bangsa Cina untuk dimanfaatkan dalam dunia perdagangan.

Sesudah kawin dengan Sunan Gunungjati, Putri Ong Tien diganti namanya menjadi Nyi Ratu Rara Semanding. Kaisar, ayah putri Ong Tien ini membekali putrinya dengan harta benda yang tidak sedikit. Sebagian besar barang-barang peninggalan putri Ong Tien yang dibawa dari negeri Cina itu sampai sekarang masih ada dan tersimpan di tempat yang aman. Istana dan masjid Cirebon kemudian dihiasi dan diperluas lagi dengan motif-motif hiasan dinding dari negeri Cina.

Masjid Agung Sang Ciptarasa dibangun pada tahun 1480 atas prakarsa Nyi Ratu Pakungwati atau istri Sunan Gunungjati. Dari pembangunan masjid itu melibatkan banyak pihak, diantaranya wali songo dan sejumlah tenaga ahli yang dikirim oleh Raden Patah. Dalam pembangunan itu Sunan alijaga mendapat penghormatan untuk mendirikan Soko Tatal sebagai lambang persatuan ummat. Selesai membangun masjid, diteruskan dengan membangun jalan-jalan raya yang menghubungkan Cirebon dengan daerah-daerah Kadipaten lainnya untuk memperluas pengembangan Islam di seluruh tanah Pasundan. Prabu Siliwangi hanya bisa menahan diri atas perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas itu. Bahkan wilayah Pajajaran sendiri sudah semakin terhimpit.

Pada tahun 1511 Malaka diduduki oleh bangsa Portugis. Selanjutnya mereka ingin meluaskan kekuasaannya ke pulau Jawa. Pelabuhan Sunda Kelapa yang jadi incaran mereka untuk menancapkan kuku penjajahan. Demak Bintoro tahu bahaya besar yang mengancam kepulauan Nusantara. Oleh karena itu Raden Patah mengirim Adipati Unus atau Pangeran Sabrang Lor untuk menyerang Portugis di Malaka. Tetapi usaha itu tak membuahkan hasil, persenjataan Portugis terlalu lengkap, dan mereka terlanjur mendirikan benteng yang kuat dim Malaka.

Ketika Adipati Unus kembali ke Jawa, seorang pejuang dari Pasai (Malaka) bernama Fatahillah ikut berlayar ke Pulau Jawa. Pasai sudah tidak aman lagi bagi mubaligh seperti Fatahillah karena itu beliau ingin menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa.

Pada tahun 1521 Sultan Demak dipegang oleh Raden Trenggana putra Raden Patah yang ketiga. Di dalam pemerintahan Sultan Trenggana inilah Fatahillah diangkat sebagai Panglima Perang yang akan ditugaskan mengusir Portugis di Sunda Kelapa.

Fatahillah yang pernah berpengalaman melawan Portugis di Malaka sekarang harus mengangkat senjata lagi. Dari Demak mula-mula pasukan yang dipimpinnya menuju Cirebon. Pasukan gabungan Demak Cirebon itu kemudian menuju Sunda Kelapa yang sudah dijarah Portugis atas bantuan Pajajaran. Mengapa Pajajaran membantu Portugis? Karena Pajajaran merasa iri dan dendam pada perkembangan wilayah Cirebon yang semakin luas. Ketika Portugis menjanjikan bersedia membantu merebut wilayah Pajajaran yang dikuasai Cirebon maka Raja Pajajaran menyetujuinya.

Mengapa Pasukan gabungan Demak-Cirebon itu tidak dipimpin oleh Sunan Gunungjati? Karena Sunan Gunungjati tahu dia harus berperang melawan kakeknya sendiri, maka diperintahkannya Fatahillah memimpin serbuan itu.

Pengalaman adalah guru yang terbaik. Dari pengalamannya bertempur di Malaka, tahulah Fatahillah titik-titik lemah tentara dan siasat Portugis. Itu sebabnya dia dapat memberi komando dengan tepat dan setiap serangan Demak-Cirebon selalu membawa hasil gemilang. Akhirnya Portugis dan Pajajaran kalah. Portugis kembali ke Malaka, sedang tentara Pajajaran cerai berai tak menentu arahnya.

Selanjutnya Fatahillah ditugaskan mengamankan Banten dari gangguan para pemberontak yaitu sisa-sisa pasuka Pajajaran. Usaha ini tidak menemui kesulitan karena Fatahillah dibantu oleh putra Sunan Gunungjati yang bernama Pangeran Sebakingking. Di kemudian hari Pangeran Sebakingking ini menjadi penguasa Banten dengan gelar Pangeran Hasanuddin. Fatahillah kemudian diangkat sebagai Adipati di Sunda Kelapa. Dan merubah nama Sunda Kelapa menjadi Jayakarta. Fatahillah tidak dapat tinggal lebih lama di Jayakarta, karena Gunungjati selaku Sultan Cirebon telah memanggilnya untuk meluaskan daerah Cirebon agar Islam lebih merata di Jawa Barat.

Kemenangan demi kemenangan berhasil diraih Fatahillah. Akhirnya Sunan Gunungjati memanggil ulama dari Pasai itu ke Cirebon. Sunan Gunungjati menjodohkan Fatahillah dengan Ratu Wulung Ayu. Sementara kedudukan Fatahillah selaku Adipati Jayakarta kemudian diserahkan kepada Ki Bagus Angke. Ketika usia Sunan Gunungjati sudah semakin tua, beliau mengangkat putranya yaitu Pangeran Muhammad Arifin sebagai Sultan Cirebon kedua dengan gelar Pangeran Pasara Pasarean. Fatahillah yang di Cirebon sering disebut Tubagus atau Kyai Bagus Pasai diangkat menjadi penasehat sang Sultan. Sunan Gunungjati lebih memusatkan diri pada penyiaran dakwah Islam di Gunungjati atau pesantren Pasambangan. Namun lima tahun sejak pengangkatannya mendadak Pangeran Muhammad Arifin meninggal dunia mendahului ayahandanya.

Kedudukan Sultan kemudian diberikan kepada Pangeran Sebakingking yang bergelar Sultan Maulana Hasanuddin, dengan kedudukannya di Banten. Sedang Cirebon walaupun masih tetap digunakan sebagai kasultanan tapi Sultannya hanya bergelar Adipati. Yaitu Adipati Carbon I. Adipati Carbon I ini adalah menantu Fatahillah yang diangkat sebagai Sultan Cirebon oleh Sunan Gunungjati. Sunan Gunungjati wafat pada tahun 1568 dalam usia 120 tahun. Bersama ibunya, Pangeran Cakrabuana beliau dimakamkan di Gunung Sembung. Dua tahun kemudian wafat pula Kyai Bagus Pasai. Fatahillah dimakamkan di tempat yang sama, makam kedua tokoh itu berdampingan, tanpa diperantarai apapun juga.

Legenda Sunan Gunungjati dan Putri China
Kurang lebi sekitar tahun 479, Sunan Gunungjati pergi ke daratan China dan tinggal di daerah Nan King. Di sana ia digelari dengan sebutan Maulana Insanul Kamil.

Daratan China sejak lama dikenal sebagai gudangnya ilmu pengobatan, maka di sana Sunan Gunungjati juga berdakwah dengan jalan memanfaatkan ilmu pengobatan. Beliau menguasai ilmu pengobatan tradisional. Di samping itu, pada setiap gerakan fisik dari ibadah shalat sebenarnya merupakan gerakan ringan dari terapi pijat atau akupuntur –terutama bila seseorang mau mendirikan shalat dengan baik, benar lengkap dengan amalan sunnah dan tuma’ninahnya. Dengan mengajak masyarakat China agar tidak makan daging babi yang mengandung cacing pita, dan giat mendirikan shalat lima waktu, makam orang yang berobat kepada Sunan Gunungjati banyak yang sembuh sehingga nama Gunungjati menjadi terkenal di seluruh daratan Cina.

Di negeri Naga itu Sunan Gunungjati berkenalan dengan Jenderal Cheng Ho dan sekretaris kerajaan bernama Ma Huan, serta Feis Hsin, ketiga orang ini sudah masuk Islam.

Pada suatu ketika Gunungjati berkunjung ke hadapan Kaisar Hong Gie, pengganti Kaisar Yung Lo dari dinasti Ming. Dalam kunjungan itu Sunan Gunungjati berkenalan dengan putri Kaisar yang bernama Ong Tien.

Menurut versi lain yang mirip sebuah legenda, sebenarnya kedatangan Sunan Gunungjati di negeri China adalah karena tidak sengaja. Pada suatu malam, beliau hendak melaksanakan shalat Tahajud. Beliau hendak shalat di rumah tapi tidak bisa khusyu’. Beliau heran, padahal bagi para wali, sahalat tahajud itu adalah kewajiban yang harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya.

Kemudian Sunan Gunungjati shalat di atas perahu yang ditambatkan di tepi pantai Cirebon. Di sana beliau dapat shalat dengan khusyu’. Bahkan dapat tidur dengan nyenyak setelah shalat dan berdoa.

Ketika beliau terbangun, beliau merasa kaget. Daratan pulau Jawa tidak nampak lagi. Tanpa sepengetahuannya beliau telah dihanyutkan ombak hingga sampai ke negeri China.

Di negeri China beliau membuka praktik pengobatan. Penduduk China yang berobat disuruhnya melaksanakan shalat. Setelah mengerjakan shalat mereka sembuh. Makin hari namanya makinterkenal, beliau dianggap sebagai shinse atau tabib sakti yang berkepandaian tinggi.

Kabar adanya tabib asing yang berkepandaian tinggi terdengar oleh Kaisar. Sunan Gunungjati dipanggil ke istana. Kaisar China hendak menguji kepandaian Sunan Gunungjati. Sebagai seorang tabib dia pasti dapat mengetahui nama seorang yang hamil muda atau belum hamil.

Dua orang Kaisar disuruh maju. Sedang yang seorang lagi masih perawan namun perutnya diganjal dengan bantal sehingga nampak seperti orang hamil. Sementara yang benar-benar hamil perutnya masih kelihatan kecil sehingga nampak seperti orang yang belum hamil.

“Hai tabib! Mana di antara puteriku yang hamil?” tanya Kaisar. Sunan Gunungjati diam sejenak, ia berdoa kepada Tuhan. “Hai orang asing mengapa kau diam? Cepat kau jawab!”, bentak Kaisar China.

“Dia!” jawab Sunan Gunungjati sembari menunjuk putri Ong Tien yang masih perawan. Kaisar tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban itu. Demikian pula seluruh menteri dan semua orang yang ada di balairung istana Kaisar. Namu tiba-tiba tawa mereka terhenti, karena putri Ong Tien menjerit keras sembari memegangi perutnya. “Ada apa anakku?” tanya Kaisar. “Ayah! Saya benar-benar hamil!”

Maka gemparlah seisi istana. Ternyata bantal yang di perut Puteri Ong Tien telah lenyap entah kemana. Sementara perut putri yang cantik itu benar-benar membesar seperti orang hamil.

Kaisar munjadi murka. Sunan Gunungjati diusir dari daratan China. Sunan Gunungjati menurut. Hari itu juga ia pamit pulang ke Pulau Jawa. Namun Puteri Ong Tien ternyata terlanjur jatuh cinta kepada Sunan Gunungjati maka dia minta kepada ayahnya agar diperbolehkan menyusul Sunan Gunungjati ke Pulau Jawa.

Kaisar Hong Gie akhirnya mengijinkan puterinya menyusul Sunan Gunungjati ke Pulau Jawa. Puteri Ong Tien dibekali harta benda dn barang-barang berharga lainnya seperti bokor, guci emas, dan permata. Puteri cantik itu dikawal oleh tiga orang pembesar kerajaan yaitu Pai Li Bang seorang menteri negara, Lie Guan Chang dan Lie Guan Hien. Pai Li Bang adalah salah seorang murid Sunan Gunugjati tatkala beliau berdakwah di negeri China.

Dalam pelayaran ke Pulau Jawa, mereka singgah di Kadipaten Sriwijaya. Begitu mereka datang para penduduk menyambutnya dengan meriah sekali. Mereka merasa heran.

“Ada apa ini?” Pai Li Bang bertanya kepada tetua masyarakat Sriwijaya. Tetua masyarakat balik bertanya,”Siapa yang bernama Pai Li Bang?” “Saya sendiri”, jawab Pai Li Bang. Kontan Pai Li Bang digotong penduduk di atas tandu. Dielu-elukan sebagai pemimpin besar. Dia dibawa ke istana Kadipaten Sriwijaya. Setelah duduk di kursi Adipati, Pai Li Bang bertanya,”Sebenarnya apa yang telah terjadi?” Tetua masyarakat itu menernagkan,”Bahwa Adipati Ario Damar selaku pemegang kekuasaan Sriwijaya telah meninggal dunia. Penduduk merasa bingung mencari penggantinya, karena putera Ario Damar sudah menetap di Pulau Jawa. Yaitu Raden Fatah dan Raden Hasan.

Dalam kebingungan itu muncullah Sunan Gunungjati, beliau berpesan bahwa sebentar lagi akan datang rombongan muridnya dari negeri China, namanya Pai Li Bang. Muridnya itulah yang pantas menjadi pengganti Ario Damar. Sebab muridnya itu adalah seorang menteri negara di negeri China.

Setelah berpesan demikian Sunan Gunungjati meneruskan pelayarannya ke Pulau Jawa. Pai Li Bang memang muridnya. Dia semakin kagum kepada gurunya yang ternyata mengetahui sebelum kejadian, tahu kalau dia bakal menyusul ke Pulau Jawa. Pai Li Bang tidak menolak kleinginan gurunya, dia bersedia menjadi Adipati Sriwijaya. Dalam pemerintahannya Sriwijaya maju pesat sebagai kadipaten yang paling makmur dan aman. Setelah Pai Li Bang meninggal dunia maka nama kadipaten Sriwijaya diganti dengan nama kadipaten Pai Li Bang. Dalam perkembangannya karena proses pengucapan lidah orang Sriwijaya maka lama kelamaan kadipaten itu lebih dikenal dengan sebutan Palembang hingga sekarang.

Sementara itu Puteri Ong Tien meneruskan pelayarannya hingga ke Pulau Jawa. Sampai di Cirebon dia mencari Sunan Gunungjati. Tapi Sunan Gunungjati sedang berada di Luragung. Puteri itu pun menyusulnya. Pernikahan antara Puteri Ong Tien dengan Sunan Gunungjati terjadi pada tahun 1481, tapi sayang pada tahun 1485 Puteri Ong Tien meninggal dunia. Maka jika anda berkunjung ke makam Sunan Gunungjati di Cirebon janganlah anda merasa heran, di sana banyak ornamen China dan nuansa-nuansa China lainnya. Memang ornamen dan barang-barang antik itu berasal dari China.

Baca SelengkapnyaSunan Gunung Jati

Sunan Muria


Asal-usul
Beliau adalah putra Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said. Seperti ayahnya, dalam berdakwah beliau menggunakan cara halus, ibarat mengambil ikan tidak sampai mengeruhkan airnya. Itulah cara yang ditempuh untuk menyiarkan agama Islam di sekitar Gunung Muria.
Tempat tinggal beliau di gunung Muria yang salah satu puncaknya bernama Colo. Letaknya di sebelah utara kota Kudus. Menurut Solichin Salam, sasaran dakwah beliau adalah para pedagang, nelayan, pelaut dan rakyat jelata. Beliaulah satu-satunya wali yang tetap mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah untuk menyampaikan Islam. Dan beliau pula yang menciptakan tembang Sinom dan Kinanti.
Sakti Mandraguna
Bahwa Sunan Muria itu adalah Wali yang sakti, kuat fisiknya dapat dibuktikan dengan letak Padepokannya yang terletak di atas gunung. Menurut pengalaman penulis (Abu Khalid, MA) jarak antara kaki undag-undagan atau tangga dari bawah bukit sampai ke makam Sunan Muria tidak kurang dari 750 m.
Bayangkanlah, jika Sunan Muria dan istrinya atau dengan muridnya setiap hari harus naik turun, turun naik guna menyebarkan agama Islam kepada penduduk setempat, atau berdakwah kepada para nelayan dan pelaut serta para pedagang. Hal itu tidak dapat dilakukannya tanpa adanya fisik yang kuat. Soalnya menunggang kuda tidak mungkin dapat dilakukan untuk mencapai tempat tinggal Sunan Muria. Harus jalan kaki. Itu berarti Sunan Muria memiliki kesaktian tinggi, demikian pula murid-muridnya.
Bukti bahwa Sunan Muria adalah guru yang sakti mandraguna dapat ditemukan dalam kisah Perkawinan Sunan Muria dengan Dewi Roroyono. Dewi Roroyono adalah putri Sunan Ngerang, yaitu seorang ulama yang disegani masyarakat karena ketinggian ilmunya, tempat tinggalnya di Juana.
Demikian saktinya Sunan Ngerang ini sehingga Sunan Muria dan Sunan Kudus sampai-sampai berguru kepada beliau.
Pada suatu hari Sunan Ngerang mengadakan syukuran atas usia Dewi Roroyono yang genap dua puluh tahun. Murid-muridnya diundang semua. Seperti: Sunan Muria, Sunan Kudus. Adipati Pathak Warak, Kapa dan adiknya Gentiri. Tetangga dekat juga diundang, demikian pula sanak kadang yang dari jauh.
Setelah tamu berkumpul Dewi Roroyono dan adiknya yaitu Dewi Roro Pujiwati keluar menghidangkan makanan dan miniman. Keduanya adalah dara-dara yang cantik rupawan. Terutama Dewi Roroyono yang berusia dua puluh tahun, bagaikan bunga yang sedang mekar-mekarnya.
Bagi Sunan Kudus dan Sunan Muria yang sudah berbekal ilmu agama dapat menahan pandangan matanya sehingga tidak terseret oleh godaan setan. Tapi seorang murid Sunan Ngerang yang lain yaitu Adipati Pathak Warak memandang Dewi Roroyono dengan mata tidak berkedip melihat kecantikan gadis itu.
Sewaktu menjadi cantrik atau murid Sunan Ngerang, yaitu ketika Pathak Warak belum menjadi seorang Adipati, Roroyono masih kecil, belum nampak benar kecantikannya yang mempesona, sekarang, gadis itu benar-benar membuat Adipati Pathak Warak tergila-gila. Sepasang matanya hampir melotot memandangi gadis itu terus menerus.
Karena dibakar api asmara yang menggelora, Pathak Warak tidak tahan lagi. Dia menggoda Roroyono dengan ucapan-ucapan yang tidak pantas. Lebih-lebih setelah lelaki itu bertindak kurang ajar.
Tentu saja Roroyono merasa malu sekali, lebih-lebih ketika lelaki itu berlaku kurang ajar dengan memegangi bagian-bagian tubuhnya yang tak pantas disentuh. Si gadis naik pitam, nampan berisi minuman yang dibawanya sengaja ditumpahkan ke pakaian sang Adipati.
Pathak Warak menyumpah-nyumpah, hatinya marah sekali diperlakukan seperti itu. Apalagi dilihatnya para tamu menertawakan kekonyolannya itu, diapun semakin malu. Hampir saja Roroyono ditamparnya kalau tidak ingat bahwa gadis itu adalah putri gurunya.
Roroyono masuk kedalam kamarnya, gadis itu menangis sejadi-jadinya karena dipermalukan oleh Pathak Warak.
Malam hari tamu-tamu dari dekat sudah pulang ke tempatnya masing-masing. Tamu dari jauh terpaksa menginap di rumah Sunan Ngerang, termasuk Pathak Warak dan Sunan Muria. Namun hingga lewat tengah malam Pathak Warak belum dapat memejamkan matanya.
Pathak Warak kemudian bangkit dari tidurnya. Mengendap-endap ke kamar Roroyono. Gadis itu disirapnya (sirap atau sirep dikenal sebagai ilmu semacam hipnotis), sehingga tak sadarkan diri, kemudian melalui genteng Pathak Warak melorot turun dan membawa lari gadis itu melalui jendela. Dewi Roroyono dibawa lari ke Mandalika, wilayah Keling atau Kediri.
Setelah Sunan Ngerang mengetahui bahwa putrinya diculik oleh Pathak Warak, maka beliau berikrar siapa saja yang berhasil membawa putrinya kembali ke Ngerang akan dijodohkan dengan putrinya itu, dan bila perempuan akan dijadikan saudara Dewi Roroyono. Tak ada yang menyatakan kesanggupannya. Karena semua orang telah maklum akan kehebatan dan kekejaman Pathak Warak. Hanya Sunan Muria yang bersedia memenuhi harapan Sunan Ngerang.
“Saya akan berusaha mengambil Diajeng Roroyono dari tangan Pathak Warak”, kata Sunan Muria.
Tetapi, di tengah perjalanan Sunan Muria bertemu dengan Kapa dan Gentiri, adik seperguruan yang lebih dahulu pulang sebelum acara syukuran berakhir. Kedua orang itu merasa heran melihat Sunan Muria berlari cepat menuju arah daerah Keling.
“Mengapa Kakang tampak tergesa-gesa?”, tanya Kapa. Sunan Muria lalu menceritakan penculikan Dewi Roroyono yang dilakukan oleh Pathak Warak.
Kapa dan Gentiri sangat menghormati Sunan Muria sebagai saudara seperguruan yang lebih tua. Keduanya lantas menyatakan diri untuk membantu Sunan Muria merebut kembali Dewi Roroyono.
“Kakang sebaiknya pulang ke Padepokan Gunung Muria. Murid-murid Kakang sangat membutuhkan bimbingan. Biarlah kami yang berusaha merebut diajeng Roroyono kembali. Kalau berhasil Kakang tetap berhak mengawininya, kami hanya sekedar membantu”, demikian kata Kapa.
“Aku masih sanggup untuk merebutnya sendiri”, ujar Sunan Muria. “Itu benar, tapi membimbing orang memperdalam agama Islam juga lebih penting, percayalah pada kami. Kami pasti sanggup merebutnya kembali”, kata Kapa ngotot.
Sunan Muria akhirnya meluluskan permintaan adik seperguruannya itu. Rasanya tidak enak menolak seseorang yang hendak berbuat baik. Lagi pula ia harus menengok para santri di Padepokan Gunung Muria.
Untuk merebut Dewi Roroyono dari tangan Pathak Warak, Kapa dan Gentiri ternyata meminta bantuan seorang Wiku Lodhang Datuk di pulau Sprapat yang dikenal sebagai tokoh sakti yang jarang ada tandingannya. Usaha mereka berhasil. Dewi Roroyono dikembalikan ke Ngerang.
Hari berikutnya Sunan Muria hendak ke Ngerang. Ingin mengetahui perkembangan usaha Kapa dan Gentiri. Di tengah jalan beliau bertemu dengan Adipati Pathak Warak.
“Hai Pathak Warak berhenti kau!”, bentak Sunan Muria. Pathak Warak yang sedang naik kuda terpaksa berhenti, karena Sunan Muria menghadang di depannya.
“Minggir! Jangan menghalangi jalanku!”, hardik Pathak Warak. “Boleh, asal kau kembalikan Dewi Roroyono!” “Goblok ! Roroyono sudah dibawa Kapa dan Gentiri! Kini aku hendak mengejar mereka!”, umpat Pathak Warak. “Untuk apa kau mengejar mereka?” “Merebutnya kembali!”, jawab Pathak Warak dengan sengit. “Kalau begitu langkahi dulu mayatku, Roroyono telah dijodohkan denganku!” ujar Sunan Muria sambil pasang kuda-kuda.
Tanpa basa-basi Pathak Warak melompat dari punggung kuda. Dia merangsak ke arah Sunan Muria dengan jurus-jurus cakar harimau. Tapi dia, bukan tandingan putra Sunan Kalijaga yang memiliki segudang kesaktian.
Hanya dalam beberapa kali gebrakan, Pathak Warak telah jatuh atau roboh di tanah dalam keadaan fatal. Seluruh kesaktiannya lenyap dan ia menjadi lumpuh, tak mampu untuk bangkit berdiri apalagi berjalan.
Sunan Muria kemudian meneruskan perjalanan ke Juana. Kedatangannya disambut gembira oleh Sunan Ngerang. Karena Kapa dan Gentiri telah bercerita secara jujur bahwa mereka sendirilah yang memaksa mengambil alih tugas Sunan Muria mencari Roroyono, maka Sunan Ngerang pada akhirnya menjodohkan Dewi Roroyono dengan Sunan Muria. Upacara pernikahan pun segera dilaksanakan.
Kapa dan Gentiri yang berjasa besar itu diberi hadiah Tanah di desa Buntar. Dengan hadiah itu keduanya sudah menjadi orang kaya yang hidupnya serba berkecukupan.
Sedang Sunan Muria segera memboyong istrinya ke Padepokan Gunung Muria. Mereka hidup bahagia, karena merupakan pasangan ideal.
Tidak demikian halnya dengan Kapa dan Gentiri. Sewaktu membawa Dewi Roroyono dari Keling ke Ngerang agaknya mereka terlanjur terpesona oleh kecantikan wanita jelita itu. Siang malam mereka tak dapat tidur. Wajah wanita itu senantiasa terbayang. Namun karena wanita itu sudah diperistri kakak seperguruannya mereka tak dapat berbuat apa-apa lagi. Hanya penyesalan yang menghujam di dada. Mengapa dulu mereka buru-buru menawarkan jasa baiknya. Betapa enaknya Sunan Muria, tanpa bersusah payah sekarang menikmati kebahagiaan bersama gadis yang mereka dambakan. Inilah hikmah ajaran agama agar laki-laki diharuskan menahan pandangan matanya dan menjaga kehormatan (kemaluan) mereka.
Andaikata Kapa dan Gentiri tidak menatap terus menerus kearah wajah dan tubuh Dewi Roroyono yang indah itu pasti mereka tidak akan terpesona, dan tidak terjerat oleh Iblis yang memasang perangkap pada pandangan mata.
Kini Kapa dan Gentiri benar-benar telah dirasuki Iblis. Mereka bertekad hendak merebut Dewi Roroyono dari tangan Sunan Muria. Mereka telah sepakat untuk menjadikan wanita itu sebagai istri bersama secara bergiliran. Sungguh keji rencana mereka.
Gentiri berangkat lebih dulu ke Gunung Muria. Namun ketika ia hendak melaksanakan niatnya dipergoki oleh murid-murid Sunan Muria, sehingga terjadilah pertempuran dahsyat. Apalagi ketika Sunan Muria keluar menghadapi Gentiri, suasana menjadi semakin panas, hingga akhirnya Gentiri tewas menemui ajalnya di puncak Gunung Muria.
Kematian Gentiri cepat tersebar ke berbagai daerah. Tapi tidak membuat surut niat Kapa. Kapa cukup cerdik. Dia datang ke Gunung Muria secara diam-diam di malam hari. Tak seorang pun yang mengetahuinya.
Kebetulan pada saat itu Sunan Muria dan beberapa murid pilihannya sedang bepergian ke Demak Bintoro. Kapa menyirap (sirep: dikenal sebagai ilmu sirep, semacam hipnotis) murid-murid Sunan Muria yang berilmu rendah… yang ditugaskan menjaga Dewi Roroyono. Kemudian dengan mudahnya Kapa menculik dan membawa wanita impiannya itu ke pulau Seprapat.
Pada saat yang sama, sepulangnya dari Demak Bintoro, Sunan Muria bermaksud mengadakan kunjungan kepada Wiku Lodhang datuk di Pulau Seprapat. Ini biasa dilakukannya karena baginya bersahabat dengan pemeluk agama lain bukanlah suatu dosa. Terlebih sang Wiku itu pernah menolongnya merebut Dewi Roroyono dari Pathak Warak.
Seperti ajaran Sunan Kalijaga yang mampu hidup berdampingan dengan pemeluk agama lain dalam suatu negeri. Lalu ditunjukkan akhlak Islam yang mulia dan agung. Bukannya berdebat tentang perbedaan agama itu sendiri. Dengan menerapkan ajaran-ajaran akhlak yang mulia itu nyatanya banyak pemeluk agama lain yang pada akhirnya tertarik dan masuk Islam secara sukarela.
Ternyata, kedatangan Kapa ke Pulau Seprapat itu tidak disambut baik oleh Wiku Lodhang datuk.
“Memalukan! Benar-benar nista perbuatanmu itu! Cepat kembalikan istri kakang seperguruanmu sendiri itu!”, hardik Wiku Lodhang Datuk dengan marah.
“Bapa Guru ini bagaimana, bukankah aku ini muridmu? Mengapa tidak kau bela?” protes Kapa. “Sampai mati pun aku takkan sudi membela kebejatan budi pekerti walau pelakunya itu muridku sendiri!”.
Perdebatan antara guru dan murid itu berlangsung lama. Tanpa mereka sadari Sunan Muria sudah sampai di tempat itu. Betapa terkejutnya Sunan Muria melihat istrinya sedang tergolek di tanah dalam keadaan terikat kaki dan tangannya. Sementara Kapa dilihatnya sedang adu mulut dengan gurunya yaitu Wiku Lodhang Datuk.
Begitu mengetahui kedatangan Sunan Muria, Kapa langsung melancarkan serangan dengan jurus-jurus maut. Wiku Lodhang Datuk menjauh, melangkah menuju Dewi Roroyono untuk membebaskan dari belenggu yang dilakukan Kapa.
Bersamaan dengan selesainya sang Wiku membuka tali yang mengikat tubuh Dewi Roroyono. Tiba-tiba terdengar jeritan keras dari mulut Kapa. Ternyata, serangan dengan pengerahan aji kesaktian yang dilakukan Kapa berbalik menghantam dirinya sendiri. Itulah ilmu yang dimiliki Sunan Muria. Mampu membalikkan serangan lawan.
Karena Kapa mempergunakan aji pamungkas yaitu puncak kesaktian yang dimilikinya maka ilmu itu akhirnya merenggut nyawanya sendiri.
“Maafkan saya tuan Wiku…”, ujar Sunan Muria agak menyesal. “Tidak mengapa. Menyesal aku telah turut memberikan ilmu kepadanya. Ternyata ilmu itu digunakan untuk jalan kejahatan”, gunam sang Wiku.
Bagaimana pun Kapa adalah muridnya, pantaslah kalau dia menguburkannya secara layak. Pada akhirnya Dewi Roroyono dan Sunan Muria kembali ke Padepokan dan hidup berbahagia.


Baca SelengkapnyaSunan Muria

Sunan Drajad



Asal-usul
Nama asli Sunan Drajad adalah Raden Qosim, beliau putra Sunan Ampel dengan Dewi Condrowati dan merupakan adik dari Raden Makdum Ibrahim atau Sunan Bonang.
Raden Qosim yang sudah mewarisi ilmu ayahnya kemudian diperintah untuk berdakwah di sebelah barat Gresik yaitu daerah kosong dari ulama besar antara Tuban dan Gresik.
Raden Qosim mulai perjalanannya dengan naik perahu dari Gresik sesudah singgah di tempat Sunan Giri. Dalam perjalanan ke arah barat itu perahu beliau tiba-tiba dihantam ombak yang besar sehingga menabrak karang dan hancur. Hampir saja Raden Qosim kehilangan nyawa, tapi bila Tuhan belum menentukan ajal seseorang bagaimana pun hebatnya kecelakaan pasti dia akan selamat, demikian pula halnya dengan Raden Qosim. Secara kebetulan seekor ikan besar yaitu ikan talang datang kepadanya. Dengan menunggang punggung ikan tersebut Raden Qosim dapat selamat hingga ke tepi pantai.
Raden Qosim sangat bersyukur dapat lolos dari musibah itu. Beliau juga berterima kasih kepada ikan talang yang dengan lantarannya dia selamat. (tentu maksudnya berterima kasih kepada Allah, katrena Allah telah mengirimkan ikan talang itu menjadi media pertolongan Allah kepadanya). Untuk itu beliau telah berpesan kepada anak keturunannya agar jangan sampai makan daging ikan talang. Bila pesan ini dilanggar akan mengakibatkan bencana, yaitu ditimpa penyakit yang tiada lagi obatnya.
Ikan talang itu membawa Raden Qosim hingga ke tepi pantai yang termasuk wilayah desa Jelag (sekarang termasuk wilayah desa Banjarwati), kecamatan Paciran. Di tempat itu Raden Qosim disambut masyarakat setempat dengan antusias, lebih-lebih setelah mereka tahu bahwa Raden Qosim adalah putra Sunan Ampel seorang Wali besar dan masih terhitung kerabat keraton Majapahit.
Di desa Jelag itu Raden Qosim mendirikan Pesantren. Karena caranya menyiarkan agama Islam yang unik maka banyaklah orang yang datang berguru kepadanya. Setelah menetap satu tahun di desa Jelag, Raden Qosim mendapat ilham supaya menuju ke arah selatan, kira-kira berjarak 1 kilometer, di sana beliau mendirikan surau langgar untuk berdakwah.
Tiga tahun kemudian secara mantap beliau mendapat petunjuk agar membangun tempat berdakwah yang strategis yaitu di tempat ketinggian yang disebut Dalem Duwur. Di bukit yang disebut Dalem Duwur itulah yang sekarang dibangun Museum Sunan Drajad, adapun makam Sunan Drajad terletak di sebelah barat Museum tersebut.
Raden Qosim adalah pendukung aliran putih yang dipimpin oleh Sunan Giri. Artinya, dalam berdakwah adalah pendukung aliran Putih yang dipimpin oleh Sunan Giri. Artinya, dalam berdakwah menyebarkan agama Islam, beliau menganut jalan lurus, jalan yang tidak berliku-liku. Agama harus diamalkan dengan lurus dan benar sesuai dengan ajaran Nabi. Tidak boleh dicampur baur dengan adat dan kepercayaan lama.
Meski demikian beliau juga mempergunakan kesenian rakyat sebagai alat dakwah. Di dalam museum yang terletak di sebelah timur makamnya terdapat seperangkat bekas gamelan Jawa, hal itu menunjukkan betapa tinggi penghargaan Sunan Drajad kepada kesenian Jawa.
Dalam catatan sejarah Wali Songo, Raden Qosim disebut sebagai seorang Wali yang hidupnya paling bersahaja, walau dalam urusan dunia beliau juga sangat rajin mencari rezeki. Hal itu disebabkan sikap beliau yang dermawan. Di kalangan rakyat jelata beliau bersifat lemah lembut dan sering menolong mereka yang menderita.
Ajaran Sunan Drajat yang TerkenalDi antara ajaran beliau yang terkenal adalah sebagai berikut:
Menehono teken marang wong wuto
Menehono mangan marang wong kang luwe
Menehono busono marang wong kang wudo
Menehono ngiyup marang wong kang kudanan
Artinya kurang lebih demikian:
Berilah tongkat kepada orang yang buta
Berilah makan kepada orang yang kelaparan
Berilah pakaian kepada orang yang telanjang
Berilah tempat berteduh kepada orang yang kehujanan
Adapun maksudnya adalah sebagai berikut: Berilah petunjuk kepada orang bodoh (buta). Sejahterakalah kehidupan rakyat yang miskin (kurang makan). Ajarkanlah budi pekerti (etika) kepada orang yang tidak tahu malu atau belum punya peradaban tinggi. Berilah perlindungan kepada orang-orang yang menderita atau ditimpa bencana. Ajaran ini sangat supel, siapapun dapat mengamalkannya sesuai dengan tingkat dan kemampuan masing-masing. Bahkan pemeluk agama lainpun tidak berkeberatan untuk mengamalkannya.
Di samping terkenal sebagai seorang Wali yang berjiwa dermawan dan sosial, beliau juga dikenal sebagai anggota Wali Songo yang turut serta mendukung dinasti Demak. Simbol kebesaran umat Islam pada waktu itu.
Di bidang kesenian, disamping terkenal sebagai ahli ukir, beliau juga pertama kali yang menciptakan Gending Pangkur. Hingga sekarang gending tersebut masih disukai rakyat Jawa. Sunan Drajat, demikian gelar Raden Qosim, diberikan kepada beliau karena beliau bertempat tinggal di sebuah bukit yang tinggi, seakan melambangkan tingkat ilmunya yang tinggi, yaitu tingkat atau derajat para ulama muqarrobin. Ulama yang dekat dengan Allah swt.
Baca SelengkapnyaSunan Drajad

Kisah Sunan Kudus



Asal-usul
Menurut salah satu sumber, Sunan Kudus adalah putra Raden Usman haji bergelar Sunan Ngudung dari Jipang Panolan. Ada yang mengatakan letak Jipang Panolan ini sebelah utara kota Blora. Di dalam Babad Tanah Jawa, disebutkan bahwa Sunan Ngudung pernah memimpin pasukan Demak Bintoro yang berperang melawan pasukan Majapahit. Sunan Ngudung selaku senopati Demak berhadapan dengan Raden Husain atau Adipati Terung dari Majapahit. Dalam pertempuran yang sengit dan saling mengeluarkan aji kesaktian itu Sunan Ngudung gugur sebagai pahlawan sahid. Kedudukannya sebagai senopati Demak kemudian digantikan oleh Sunan Kudus yaitu putranya sendiri yang bernama asli Ja’far Sodiq.
Pasukan Demak hampir saja menderita kekalahan, namun melalui siasat Sunan Kalijaga, dan bantuan pusaka (persenjataan) dari Raden Patah yang dibawa dari Palembang kedudukan Demak dan Majapahit akhirnya berimbang. Keadaan ini tentu bukan semata-mata berkat siasat Sunan Kalijaga dan bantuan pusaka Raden Patah, tetapi karena izin Allah, siasat itu dapat merubah keadaan peperangan itu.
Selanjutnya melalui jalan diplomasi yang dilakukan Patih Wanasalam dan Sunan Kalijaga, peperangan itu dapat dihentikan. Adipati Terung yang memimpin lasykar Majapahit diajak damai dan bergabung dengan Raden Patah yang ternyata adalah kakaknya sendiri. Kini keadaan berbalik. Adipati Terung dan pengikutnya bergabung dengan tentara Demak dan menggempur tentara Majapahit hingga ke belahan timur. Pada akhirnya perang itu dimenangkan oleh pasukan Demak.
Guru-gurunyaDisamping belajar agama kepada ayahnya sendiri, Raden Ja’far Sodiq juga belajar kepada beberapa ulama terkenal. Diantaranya kepada Kiai Telingsing, Ki Ageng Ngerang dan Sunan Ampel.
Nama asli kiai Telingsing adalah The Ling Sing, beliau adalah seorang ulama dari negeri Cina yang datang ke pulau Jawa bersama Laksamana Jenderal Cheng Hoo. Sebagaimana disebutkan dalam sejarah. Jenderal Cheng Hoo yang beragama Islam itu datang ke Pulau Jawa untuk menjalin tali persahabatan dan menyebarkan agama Islam melalui perdagangan.Di Jawa, The Ling Sing cukup dipanggil dengan sebutan Telingsing, beliau tinggal di sebuah daerah subur yang terletak di antara sungai Tanggulangin dan Sungai Juwana sebelah timur. Di sana beliau bukan hanya mengajar agama Islam, melainkan juga mengajarkan kepada para penduduk seni ukir yang indah.
Banyak yang datang berguru seni ukir kepada Kiai Telingsing, termasuk Raden Ja’far Sodiq itu sendiri. Dengan belajar kepada ulama yang berasal dari Cina itu, Ja’far Sodiq mewarisi bagian dari sifat positif masyarakat Cina yaitu ketekunan dan kedisiplinan dalam mengejar atau mencapai cita-cita. Hal ini berpengaruh besar bagi kehidupan dakwah Raden Ja’far Sodiq di masa selanjutnya yaitu tatkala menghadapi masyarakat yang kebanyakan  masih beragama Hindu dan Budha.
Selanjutnya, Raden Ja’far Sodiq juga berguru kepada Sunan Ampel di Surabaya selama beberapa tahun.
CARA BERDAKWAH YANG LUWES
A. Strategi Pendekatan Kepada Massa
Sunan Kudus termasuk pendukung gagasan Sunan Kalijaga dan Sunan Bonang yang menerapkan strategi dakwah kepada masyarakat sebagai berikut:
Membiarkan dulu adat istiadat dan kepercayaan lama yang sukar diubah. Mereka sepakat untuk tidak mempergunakan jalan kekerasan atau radikal menghadapi masyarakat yang demikian.
Bagian adat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi mudah dirubah maka segera dihilangkan.
Tut Wuri Handayani, artinya mengikuti dari belakang terhadap kelakuan dan adat rakyat tetapi diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit dan menerapkan prinsip Tut Wuri Hangiseni, artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi ajaran agama Islam.
Menghindarkan konfrontasi secara langsung atau secara keras di dalam cara menyiarkan agama Islam. Dengan prinsip mengambil ikan  tetapi tidak mengeruhkan airnya.
Pada akhirnya boleh saja merubah dan kepercayaan masyarakat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam tetapi dengan prinsip tidak menghalau masyarakat dari umat Islam. Kalangan umat Islam yang sudah tebal imannya harus berusaha menarik simpati masyarakat non muslim agar mau mendekat dan tertarik pada ajaran Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali melaksanakan ajaran Islam. Hal itu tak bisa mereka lakukan kecuali melaksanakan ajaran Islam secara konsekuen. Sebab dengan melaksanakan ajaran Islam secara lengkap otomatis tingkah laku dan gerak gerik mereka sudah merupakan dakwah nyata yang dapat memikat masyarakat non muslim.
Strategi dakwah ini diterapkan oleh Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, Sunan Muria, Sunan Kudus dan Sunan Gunungjati. Karena siasat mereka dalam berdakwah tak sama dengan garis yang ditetapkan oleh Sunan Ampel maka mereka disebut Kaum Abangan atau Aliran Tuban. Sedang pendapat Sunan Ampel yang didukung Sunan Giri dan Sunan Drajad disebut Kaum Putihan atau Aliran Giri.
Namun atas inisiatif Sunan Kalijaga, kedua pendapat yang berbeda itu pada akhirnya dapat dikompromosikan.
B. Merangkul Masyarakat HinduDi Kudus pada waktu itu penduduknya masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Untuk mengajak mereka masuk Islam tentu bukannya pekerjaan mudah. Terlebih mereka yang masih memeluk kepercayaan lama dan memegang teguh adat istiadat lama, jumlahnya tidak sedikit. Didalam masyarakat seperti itulah Ja’far Sodiq harus berjuang menegakkan agama.
Pada suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq membeli seekor sapi (dalam riwayat lain disebut Kebo Gumarang). Sapi tersebut berasal dari Hindia, dibawa para pedagang asing dengan kapal besar. Sapi itu ditambatkan di halaman rumah Sunan Kudus.
Rakyat Kudus yang kebanyakan beragama Hindu itu tergerak hatinya, ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh Sunan Kudus terhadap sapi itu. Sapi dalam pandangan agama Hindu adalah hewan suci yang menjadi kendaraan para Dewa. Menyembelih sapi adalah perbuatan dosa yang dikutuk para Dewa. Lalu apa yang akan dilakukan Sunan Kudus?
Apakah Sunan Kudus hendak menyembelih sapi di hadapan masyarakat yang kebanyakan justru memujanya dan menganggap binatang keramat. Itu berarti Sunan Kudus akan melukai hati rakyatnya sendiri.
Dalam tempo singkat halaman rumah Sunan Kudus dibanjiri rakyat, baik yang beragama Islam maupun Budha dan Hindu. Setelah jumlah penduduk yang datang bertambah banyak, Sunan Kudus keluar dari dalam rumahnya.
“Sedulur-sedulur yang saya hormati, segenap sanak kadang yang saya cintai”, Sunan Kudus membuka suara. “Saya melarang sauadara-saudara menyakiti apalagi menyembelih sapi. Sebab di waktu saya masih kecil, saya pernah mengalami saat yang berbahaya, hampir mati kehausan lalu seekor sapi datang menyusui saya”.
Mendengar cerita tersebut para pemeluk agama Hindu terkagum kagum. Mereka menyangka Raden Ja’far Sodiq itu adalah titisan Dewa Wisnu, maka mereka bersedia mendengarkan ceramahnya. “Demi rasa hormat saya kepada jenis hewan yang telah menolong saya, maka dengan ini saya melarang penduduk Kudus menyakiti atau menyembelih Sapi!”
Kontan para penduduk terpesona atas kisah itu. Sunan Kudus melanjutkan,”Salah satu di antara surat-surat di dalam Al Qur’an yaitu surat kedua dinamakan Surat Sapi atau dalam bahasa Arabnya Al-Baqarah”, kata Sunan Kudus.
Masyarakat makin tertarik. Kok ada Sapi di dalam Al Qur’an, mereka jadi ingin tahu lebih banyak dan untuk itulah mereka harus sering-sering datang mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
Demikianlah, sesudah simpati itu berhasil didapatkan akan lapanglah jalan untuk mengajak masyarakat berduyun-duyun masuk agama Islam.
Bentuk Masjid yang dibuat Sunan Kudus pun juga tak jauh bedanya dengan candi-candi milik orang Hindu. Lihatlah Menara Kudus yang antik itu, yang hingga sekarang dikagumi orang di seluruh dunia karena keanehannya. Dengan bentuknya yang mirip candi itu orang-orang Hindu merasa akrab dan tidak merasa takut atau segan masuk ke dalam masjid guna mendengarkan ceramah Sunan Kudus.
C. Merangkul Masyarakat BudhaSesudah berhasil menarik umat Hindu ke dalam agama Islam hanya karena sikap toleransinya yang tinggi, yaitu menghormati sapi yang dikeramatkan umat Hindu dan membangun menara masjid mirip candi Hindu. Kini Sunan Kudus bermaksud menjaring umat Budha. Caranya? Memang tidak mudah, harus kreatif dan bersifat tidak memaksa.
Sesudah masjid berdiri, Sunan Kudus membuat padasan atau tempat berwudhu dengan pancuran yang berjumlah delapan. Masing-masing pancuran diberi arca Kepala Kebo Gumarang di atasnya. Hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha “Jalan berlipat delapan” atau “Asta Sanghika Marga”, yaitu:
1. Harus memiliki pengetahuan yang benar.
2. Mengambil keputusan yang benar.
3. Berkata yang benar.
4. Hidup dengan cara yang benar.
5. Bekerja dengan benar.
6. Beribadah dengan benar.
7. Dan menghayati agama dengan benar.
Usahanya itupun membuahkan hasil, banyak umat Budha yang penasaran, untuk apa Sunan Kudus memasang lambang wasiat Budha itu di padasan atau tempat berwudhu. Sehingga mereka berdatangan ke masjid untuk mendengarkan keterangan Sunan Kudus.
D. Selamatan MitoniDi dalam cerita tutur disebutkan bahwa Sunan Kudus itu pada suatu ketika gagal mengumpulkan rakyat yang masih berpegang teguh pada adat istiadat lama.
Seperti diketahui, rakyat Jawa yang melakukan adat istiadat yang aneh, yang kadangkala bertentangan dengan ajaran Islam, misalnya berkirim sesaji di kuburan untuk menunjukkan belasungkawa atau berduka cita atas meninggalnya salah seorang anggota keluarga, selamatan neloni, mitoni, dan lain-lain. Sunan Kudus sangat memperhatikan upacara-upacara ritual itu, dan berusaha sebaik-baiknya untuk merubah atau mengarahkannya dalam bentuk Islami. Hal ini dilakukan oleh Sunan Kalijaga dan Sunan Muria.
Contohnya, bila seorang istri orang Jawa hamil tiga bulan maka akan dilakukanlah acara selamatan yang disebut mitoni sembari minta kepada dewa bahwa bila anaknya lahir supaya tampan seperti Arjuna, jika anakanya perempuan supaya cantik seperti Dewi Ratih.
Adat tersebut tidak ditentang secara keras oleh Sunan Kudus. Melainkan diarahkan dalam bentuk Islami. Acara selamatan boleh terus dilakukan tapi niatnya bukan sekedar kirim sesaji kepada para dewa, melainkan bersedekah kepada penduduk setempat dan sesaji yang dihidangkan boleh dibawa pulang. Sedang permintaannya langsung kepada Allah dengan harapan bila anaknya lahir laki-laki akan berwajah tampan seperti Nabi Yusuf, dan bila perempuan seperti Siti Mariam ibunda Nabi Isa a.s. Untuk itu sang ayah dan ibu perlu sering-sering membaca surat Yusuf dan surat Mariam dalam Al Qur’an.
Sebelaum acara selamatan dilaksanakan diadakanlah pembacaan Layang Ambiya’ atau sejarah para Nabi. Biasanya yang dibaca adalah bab Nabi Yusuf. Hingga sekarang acara pembacaan Layang Ambiya’ yang berbentuk tembang Asmaradana, Pucung, dan lain-lain itu masih hidup di kalangan masyarakat pedesaan.
Berbeda dengan cara lama, pihak tuan rumah membuat sesaji dari berbagai jenis makanan, kemudian diikrarkan (dihajatkan) oleh sang dukun atau tetua masyarakat dan setelah upacara sakral itu dilakukan sesajinya tidak boleh dimakan melainkan diletakkan di candi, di kuburan atau di tempat-tempat sunyi di lingkungan tuan rumah.
Ketika pertama kali melaksanakan gagasannya, Sunan Kudus pernah gagal, yaitu beliau mengundang seluruh masyarakat, baik yang Islam maupun yang Hindu dan Budha ke dalam Masjid. Dalam undangan disebutkan hajat Sunan Kudus yang hendak mitoni dan bersedekah atas hamilnya sang istri selama tiga bulan.
Sebelum masuk masjid, rakyat harus membasuh kaki dan tangannya di kolam yang sudah disediakan. Dikarenakan harus membasuh tangan dan kaki inilah banyak rakyat yang tidak mau, terutama dari kalangan Budha dan Hindu. Inilah kesalahan Sunan Kudus. Beliau terlalu mementingkan pengenalan syariat berwudhu kepada masyarakat tapi akibatnya masyarakat malah menjauh. Apa sebabnya? Karena iman mereka atau tauhid mereka belum terbina.
Maka pada kesempatan lain, Sunan Kudus mengundang masyarakat lagi. Kali ini masyarakat tidak usah membasuh tangan dan kainya waktu masuk masjid, hasilnya sungguh luar biasa. Masyarakat berbondong-bondong memenuhi undangannya. Di saat itulah Sunan Kudus menyisipkan bab keimanan dalam agama Islam secara halus dan menyenangkan rakyat. Caranya menyampaikan materi dengan cukup cerdik, yaitu ketika rakyat tengah memusatkan perhatiannya kepada keterangan Sunan Kudus tetapi karena waktu sudah terlalu lama, dan dikawatirkan mereka jenuh maka Sunan Kudus mengakhiri ceramahnya.
Cara tersebut kadang mengecewakan, tapi disitulah letak segi positifnya, yaitu rakyat jadi ingin tahu kelanjutan ceramahnya. Dan pada kesempatan lain mereka datang lagi ke Masjid, baik dengan undangan maupun tidak, karena rasa ingin tahu itu demikian besar mereka tak peduli lagi pada syarat yang diajukan Sunan Kudus yaitu membasuh kaki dan tangannya lebih dahulu, yang lama-lama menjadi kebiasaan untuk berwudhu.
Dengan demikian Sunan Kudus berhasil menebus kesalahannya di masa lalu. Rakyat tetap menaruh simpati dan menghormatinya. Cara-cara yang ditempuh untuk mengislamkan masyarakat cukup banyak. Baik secara langsung melalui ceramah agama maupun adu kesaktian dan melalui kesenian, beliaulah yang pertama kali menciptakan tembang Mijil dan Maskumambang. Di dalam tembang-tembang tersebut beliau sisipkan ajaran-ajaran agama Islam.
4. SUNAN KUDUS DI NEGERI MEKAHDi dalam legenda dikisahkan bahwa Raden Jakfar Sodiq itu suka mengembara, baik ke Tanah Hindustan maupun ke Tanah Suci Mekah.
Sewaktu berada di Mekah beliau menunaikan ibadah haji. Dan kebetulan di sana ada wabah penyakit yang sukar diatasi. Penguasa negeri Arab mengadakan sayembara, siapa yang berhasil melenyapkan wabah penyakit itu akan diberi hadiah harta benda yang cukup besar jumlahnya.
Sudah banyak orang mencoba tak pernah berhasil. Pada suatu hari Sunan Kudus atau Ja’far Sodiq mengahadap penguasa negeri itu tapi kedatangannya disambut dengan sinis.
“Dengan apa tuan melenyapkan wabah penyakit itu?” tanya sang Amir. “Dengan doa”,jawab Ja’far Sodiq singkat. “Kalau hanya doa kami sudah puluhan kali melakukannya. Tapi mereka tak pernah berhasil mengusir wabah penyakit ini”
“Saya mengerti, memang Tanah Arab ini gudangnya para ulama. Tapi jangan lupa ada saja kekurangannya sehingga doa mereka tidak terkabulkan”, kata Jakfar Sodiq.
“Hem, sungguh berani tuan berkata demikian”, kata Amir itu dengan nada berang. “Apa kekurangan mereka?”. “Anda sendiri yang menyebabkannya”, kata Jakfar Sodiq dengan tenangnya. “Anda telah menjanjikan hadiah yang menggelapkan mata hati mereka sehingga doa mereka tidak ikhlas. Mereka berdoa hanya karena mengharap hadiah”. Sang Amir pun terbungkam atas jawaban itu.
Jakfar Sodiq lalu dipersilakan melaksanakan niatnya. Kesempatan itu tidak disia-siakan. Secara khusus Jakfar Sodiq berdoa dan membaca beberapa amalan. Dalam tempo singkat wabah penyakit mengganas di negeri Arab telah menyingkir. Bahkan beberapa orang yang menderita sakit keras secara mendadak langsung sembuh. Bukan main senangnya hati sang Amir. Rasa kagum mulai menjalari hatinya. Hadiah yang dijanjikannya bermaksud diberikannya kepada Jakfar Sodiq. Tapi Jakfar Sodiq menolaknya, dia hanya minta sebuah batu yang berasal dari Baitul Maqdis. Sang Amir mengijinkannya. Batu itu pun dibawa ke tanah Jawa, dipasang di pengimaman masjid Kudus yang didirikannya sekembali dari Tanah Suci.
Rakyat kota Kudus pada waktu itu masih banyak yang beragama Hindu dan Budha. Para Wali mengadakan sidang untuk menentukan siapakah yang pantas berdakwah di kota itu. Pada akhirnya Jakfar Sodiq yang bertugas di daerah itu. Karena Masjid yang dibangunnya dinamakan Kudus maka Raden Jakfar Sodiq pada akhirnya disebut Sunan Kudus.
5. TUGAS SEBAGAI SENOPATIMalam hitam pekat, udara musim kemarau terasa sangat dingin menusuk tulang. Penduduk desa Pengging yang terletak di tepi hutan, malam itu tak dapat tidur, sebab malam itu terdengar auman harimau sambung-menyambung, terus menerus. Para penduduk berjaga-jaga, kalau-kalau malam itu harimau yang mengaum itu akan masuk ke desa dan memangsa hewan ternak mereka.
Tapi sampai pagi tidak ada seekor harimau tampak masuk kampung. Para penduduk penasaran. Mereka beramai-ramai masuk ke dalam hutan untuk memeriksa, apakah benar di dalam hutan yang sudah mereka kenal selama ini ada harimaunya.
Dengan senjata siap di tangan mereka siap menghadapi segala kemungkinan. Di tengah hutan, bukan harimau yang mereka dapatkan, melainkan tujuh orang santri dan seorang berjubah putih yang tampak agung berwibawa. “Apakah tuan melihat harimau di sekitar hutan ini?” tanya tetua desa. “Tidak”, jawab lelaki berjubah putih itu. “Semalam kami tidur di hutan ini tapi tidak melihat seekor harimau pun”. “Aneh, semalaman kami tak dapat tidur karena auman suara harimau yang terus menerus”, gunam tetua desa. “Kalau begitu namakanlah tempat ini desa Sima. Karena kau mendengar suara Sima (harimau) padahal tak ada Sima”, kata lelaki berjubah putih.
Tetua desa itu menurut, hingga sekarang tempat lelaki berjubah putih bermalam itu dinamakan desa Sima. Lelaki berjubah putih itu kemudian meneruskan perjalanannya ke Pengging untuk menemui Adipati Kebo Kenanga atau lebih dikenal sebagai Ki Ageng Pengging.
Pagi itu udara masih terasa menggigit tulang. Seiring dengan langkah lelaki berjubah putih dan tujuh orang pengikutnya yang makin mendekati ujung desa Pengging tiba-tiba di udara nampak dua ekor gagak terbang sambil mengeluarkan suara khasnya.
Adanya suara burung gagak adalah lambang kematian, berarti akan ada sosok manusia yang dicabut nyawanya oleh Sang Malaikat Maut. Siapakah orang yang bakal mati hari ini? Siapa pula orang berjubah putih yang nampak agung dan berwibawa itu? Mengapa tujuh orang santri terus mengikutinya dari belakang? Apa tujuan mereka ke desa Pengging? Pengging atau Pajang pada beberapa tahun silam bukanlah sebuah desa terpencil. Pengging adalah sebuah Kadipaten yang sangat terkenal karena Adipati Handayaningrat yang memimpin adalah Putra Prabu Brawijaya Penguasa Majapahit.
Adipati Handayaningrat mempunyai dua orang putra lelaki. Yang pertama bernama Kebo Kanigara, yang kedua Kebo Kenanga. Ketika sang Adipati meninggal dunia, Kebo Kanigara mengembara tak ketahuan rimbanya. Sedang Kebo Kenanga masuk Islam menjadi murid Syekh Siti Jenar. Tenggelam dalam alur faham Siti Jenar sehingga pikirannya berubah. Tak mau mengurus lagi Kadipaten warisan orang tuanya. Ia malah mengajak rakyatnya untuk hidup wajar sebagai petani biasa.
Sungguh mengagumkan. Hasil panen para petani Pengging kemudian tersebar ke penjuru desa lainnya. Bahkan menggetarkan dinding-dinding istana Demak Bintoro, karena Ki Ageng Pengging tak pernah sowan menghadap Sri Sultan. Dan tentu saja tak pernah menyerahkan upeti pertanda setia dan tetap tunduk kepada Demak Bintoro.
Karena itu Raden Patah segera mengutus dua perwira utama untuk menengok Ki Ageng Pengging. “Ki Ageng”, kata utusan itu setelah tiba di hadapannya. “Sudah dua tahun Andika tidak menghadap Gusti Sultan Demak. Kami diperintahkan mengingatkan Andika, sebab Gusti Sultan sudah sangat merindukan kehadiran Andika selaku saudaranya”.
Ki ageng Pengging menatap dua orang utusan itu dengan tajam. “Buat apa seorang petani desa menghadap Sri Sultan? Hanya bikin malu Sri Sultan saja. Hai utusan kembali-lah dan katakan kepada Sri Sultan aku tak dapat memenuhi panggilannya. Mohonkan ampun atas sikapku ini”.
Dua orang utusan itu segera kembali ke istana Demak. Tak berapa lama kemudian Ki Ageng Pengging memanggil dalang wayang beber. Selepas shalat Isya’ dalang pun segera memainkan lakon wayangnya. Penduduk berduyun-duyun menyaksikan pertunjukan gratis itu.
Ketika hampir muncul fajar sidik di ufuk timur. Tiba-tiba istri Ki Ageng Pengging menggerang kesakitan. Ia merasa si jabang bayi akan segera lahir. Ki Ageng Pengging segera memerintahkan Ki Dalang untuk mengakhiri pertunjukannya. Orang-orang pun segera sibuk menolong istri Ki Ageng Pengging. Ternyata yang lahir adalah laki-laki yang elok rupanya.
Ki Ageng Tingkir berkata kepada adik seperguruannya. “Adimas, karena anakmu lahir bertepatan dengan pagelaran wayang beber maka anakmu kuberi nama Karebet”.
“Terima kasih atas kesediaan memberi nama anak ini”, ujar Ki Ageng Pengging. “Mudah-mudahan dia dapat meniru kegagahan dan watak satria Kakang”. Ki Ageng Tingkir turut bergembira atas kelahiran putra adik seperguruannya itu. Selama tiga hari ia menunggui kelahiran bayi itu di Pengging. Sementara itu, Raden Patah mengatur siasat. Dua orang utusannya telah gagal memanggil Ki Ageng Pengging. Sekarang dia mengutus Ki Wanapala untuk memanggil Ki Ageng Pengging.
Ki Wanapala adalah bekas Mahapatih Demak Bintoro yang sudah mengundurkan diri. Kedudukannya telah digantikan anaknya sendiri. Namun ia masih sering datang ke istana Demak jika diperlukan Raden Patah untuk dimintai pertimbangan.
Namun patih senior ini juga tak mampu menjinakkan sikap Ki Ageng Pengging, ia pulang dengan tangan hampa.
Ki Wanapala tak berpanjang kata. Ia segera kembali ke Demak. Melaporkan segala apa yang didengarnya. Sri Sultan setuju atas keputusan Ki Wanapala memberi tenggang waktu selama tiga tahun.
Namun ketika tiga tahun lewat Ki Ageng belum menghadap ke Demak juga. Atas nasehat para Wali, maka Sri Sultan mengirim utusan ketiga. Yang ditugaskan kali ini adalah Sunan Kudus. Tugas kali ini harus tuntas. Karena Sunan Kudus yang terkenal memiliki ilmu logika tinggi dan beribu ilmu kesaktian itu terpilih menangani masalah ini. Sri Sultan tak perlu mengirim utusan keempat lagi.
Walaupun Sunan Kudus itu Panglima Perang Demak, tetapi para Wali melarangnya menggunakan baju dan seragam militernya. Sunan Kudus disarankan agar memakai pakian jubah putih sebab yang dihadapinya adalah seorang santri desa.
Berangkatlah Sunan Kudus dengan iringan tujuh prajurit Demak pilihan yang juga menyamar sebagai para santri biasa.
Tiga tahun memang telah berlalu dengan cepatnya. Ki Ageng Pengging tidak pernah menghadap ke Demak. Bahkan Kadipaten Pengging yang dulu pernah mengalami kejayaan di jaman ayahnya yaitu Adipati Handayaningrat tidak diurus lagi. Kebo Kenanga, cucu Raja Majapahit itu malah tenggelam dalam dunia kebatinan yang diajarkan oleh Syeikh Siti Jenar.
Walau tampaknya Ki Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging itu tak mengurus pemerintahan Kadipaten, tapi sesungguhnya para prajuritnya masih setia kepadanya, mereka menyembunyikan keperwiraannya di balik baju petani. Tetapi sewaktu-waktu mereka bisa digerakkan jika diperlukan oleh Ki Ageng Pengging.
Hal ini disadari oleh pemerintah pusat Demak Bintoro. Itu sebanya Sri Sultan memilih Sunan Kudus untuk menggali sang pembangkang yaitu Ki Ageng Pengging ini.
Suasana Kadipaten Pengging benar-benar lengang. Pagi itu penduduk banyak yang pergi ke sawah dan ladang masing-masing. Pendapa atau istana Kadipaten tidak kelihatan. Di pusat bekas pemerintahan Adipati Handayaningrat itu kini hanya ada sebuah rumah yang tak seberapa besar. Bentuknya seperti rumah penduduk lainnya.
Sunan Kudus memerintahkan tujuh orang pengikutnya menunggu di ujung desa. Dia sendiri berjalan menuju rumah Ki Ageng Pengging. Langkahnya mantap. Dia yakin tugasnya kali ini akan membawa hasil. Seperti sudah dilambangkan oleh Bende Kyai Sima, yaitu pusaka warisan dari mertuanya yang dibunyikan di dalam hutan saat dia kemalaman. Bila bende itu dipukul bunyinya seperti harimau maka tandanya akan berhasil, bila tidak mengeluarkan auman harimau berarti akan menemui kegagalan.
Di depan pintu rumah Ki Ageng Pengging ada seorang pelayan wanita setengah baya. Sunan Kudus memberi salam kemudian mengutarakan maksud kedatangannya untuk menemui Ki Ageng Pengging. “Maaf tuan, sudah beberapa hari Ki Ageng mengurung diri di dalam kamarnya, beliau tidak bisa menemui tamu”, kata pelayan itu. “Aku bukan tamu biasa”, kata Sunan Kudus. “Katakan aku adalah utusan Tuhan yang datang dari Kudus. Ingin bertemu dengan Ki Ageng Pengging”. Pelayan itu masuk ke dalam rumah menyampaikan pesan Sunan Kudus yang dianggapnya aneh. Ternyata Ki Ageng bersedia menerima tamunya.
Sunan Kudus dipersilakan masuk ke dalam rumahnya. Istri Ki Ageng Pengging membuatkan minuman untuk menghormati tamu khusus itu. Tinggallah di ruang tamu itu Ki Ageng Pengging dan Sunan Kudus.
“Wahai Ki Ageng, saya diperintah oleh Sultan Demak Bintoro. Manakah yang kau pilih. Di luar atau di dalam? Di atas atau di bawah?”, tanya Sunan Kudus. Ki Ageng Pengging menghela nafas, tiga tahun yang lalu dia juga diberi pertanyaan serupa oleh Ki Wanasalam, patih Demak Bintoro. “jawabanku tetap sama dengan tiga tahun yang lalu”,kata Ki Ageng Pengging. “Atas-bawah, luar-dalam adalah milikku. Aku tak bisa memilihnya”.
Jawaban itu bagi Sunan Kudus adalah sangat jelas. Berarti Ki Ageng Pengging punya maksud ganda. Ingin menjadi rakyat atau bawahan Demak Bintoro sekaligus ingin menjadi penguasa Demak Bintoro. Jelasnya dia tidak mau mengakui Raden Patah sebagai raja Demak. Ini pembangkangan namanya. Kasarnya pemberontak!
Bahwa Ki Ageng Pengging itu murid Syekh Siti Jenar, gurunya itu sudah dihukum mati karena kesesatannya, Sunan Kudus ingin mengetahui apakah Ki Ageng Pengging masih meyakini ilmu dari Syeikh Siti Jenar itu atau sudah meninggalkannya sama sekali.
“Saya pernah mendengar bahwa Ki Ageng bisa hidup di dalam mati dan mati di dalam hidup”, kata Sunan Kudus. “Benarkah apa yang saya katakan itu? Saya ingin melihat buktinya”.
“Memang begitu!”, jawab Ki Ageng Pengging. “Kau anggap apa saja aku ini maka aku akan menurut apa yang kau sangka. Kau anggap aku santri memang aku santri, kau anggap aku ini raja, memang aku keturunan raja, kau anggap aku ini rakyat memang aku rakyat, dan kau anggap aku ini Allah aku memang Allah!”
Klop sudah! Ki Ageng Pengging masih memegang teguh ajaran Syekh Siti Jenar yang berfaham Wihdatul Wujud atau berfilasafat serba Tuhan. Faham itu adalah bertentangan dengan Islam yang disiarkan para wali, sehingga Syekh Siti Jenar dihukum mati.
Sunan Kudus juga cerdik, dia tahu murid-murid Syekh Siti Jenar itu mempunyai ilmu-ilmu yang aneh, kadangkala mereka kebal, tak mempan senjata apapun juga. Maka Sunan Kudus bermaksud mengorek kelemahan Ki Ageng Pengging dengan jalan diplomasi.
“Seperti pengakuan Ki Ageng, bahwa Ki Ageng dapat mati di dalam hidup. Saya ingin melihat buktinya”. “Jadi itukah yang dikehendaki Sulatan Demak?. Baiklah, tidak ada orang mati tanpa sebab, maka kau harus membuat sebab kematianku. Bagiku hidup dan mati tidak ada bedanya”. Ki Ageng Pengging berhenti sejenak, menatap dalam-dalam wajah Sunan Kudus. “Tapi jangan melibatkan orang lain. Cukup aku saja yang mati”. Sunan Kudus menyanggupi permintaan Ki Ageng. Ki Ageng menghela nafas panjang.“Tusuklah siku lenganku ini….!”, ujar Ki Ageng membuka titik kelemahannya. Sunan Kudus pun melakukannya. Siku Ki Ageng ditusuk dengan ujung keris, seketika matilah Ki Ageng Pengging.
Sunan Kudus kemudian keluar rumah Ki Ageng Pengging dengan langkah tenang. Disambut oleh tujuh pengikutnya di ujung desa. Mereka berjalan menuju Demak Bintoro. Sementara itu istri Ki Ageng Pengging yang hendak menghidangkan jamuan makan menjerit keras manakala melihat suaminya mati di ruang tamu. Penduduk sekitar berdatangan ke rumahnya. Setelah tahu pemimpinnya dibunuh mereka memanggil penduduk lainnya dan bersama-sama mengejar Sunan Kudus.
200 orang bekas prajurit dan perwira dipimpin bekas Senopati Kadipaten Pengging mencabut senjata dan berteriak-teriak memanggil Sunan Kudus dari kejauhan.
Sunan Kudus berhenti. Dibunyikannya Bende Kyai Sima. Tiba-tiba muncul ribuan prajurit Demak yang berlarian ke arah timur. Orang-orang Pengging mengejar ke arah timur, padahal Sunan Kudus dan pengikutnya berada di sebelah utara. Tidak berapa lama kemudian ribuan prajurit itu lenyap. Orang Pengging kebingungan, tak tahu hars berbuat apa. Akal mereka seperti hilang.
Sunan Kudus kasihan melihat keadaan mereka, akhirnya mereka disadarkan kembali dengan pengerahan ilmunya. “Jangan turut campur urusan besar ini. Ki Ageng Pengging sudah diperingatkan selama tiga tahun. Tapi dia tetap tak mau menghadap ke Demak. Itu berarti dia sengaja hendak memberontak! Nah, kalian rakyat kecil, tak ada hubungannya dengan urusan ini. Pulanglah!”
Suara Sunan Kudus terdengar berat dan mengandung perbawa kuat. Penduduk Pengging itu seperti baru sadar dan mengerti bahwa yang mereka hadapi adalah seorang Senopati Demak Bintoro yang kondang mempunyai seribu satu macam kesaktian. Mereka tak kan mampu menghadapinya.
“Ada tugas yang lebih penting daripada berbuat kesia-siaan ini”, kata Sunan Kudus.“Segeralah kalian urus jenazah Ki Ageng. Itulah penghormatan kalian yang terakhir kepada pemimpin kalian”
Orang-orang Pengging itu tak menemukan pilihan lain. Akhirnya mereka kembali ke rumah Ki Ageng untuk menguburkan jenazah pemimpin mereka. Sunan Kudus dan tujuh pengikutnya segera kembali ke Demak.
Cita-cita Ki Ageng Pengging agar anak turunannya menjadi Raja ternyata kesampaian. Anaknya yang bernama Karebet itu diambil anak angkat oleh Ki Ageng Tingkir dan setelah dewasa bernama Jaka Tingkir. Jaka Tingkir inilah yang bakal memindahkan pusat pemerintahan Demak ke desa Pengging atau Pajang.

Baca SelengkapnyaKisah Sunan Kudus

Sunan Kalijaga


Diusir Dari Kadipaten

Sunan Kalijaga itu aslinya bernama Raden Said. Putra Adipati Tuban yaitu Tumenggung Wilatikta. Tumenggung Wilatikta seringkali disebut Raden Sahur, walau dia termasuk keturunan Ranggalawe yang beragama Hindu tapi Raden Sahur sendiri sudah masuk agama Islam.

Sejak kecil Raden Said sudah diperkenalkan kepada agama Islam oleh guru agama Kadipaten Tuban. Tetapi karena melihat keadaan sekitar atau lingkungan yang kontradiksi dengan kehidupan rakyat jelata maka jiwa Raden Said berontak.

Gelora jiwa muda Raden Said seakan meledak-ledak manakala melihat praktik oknum pejabat Kadipaten Tuban di saat menarik pajak pada penduduk atau rakyat jelata. Rakyat yang pada waktu itu sudah sangat menderita dikarenakan adanya musim kemarau panjang, semakin sengsara, mereka harus membayar pajak yang kadangkala tidak sesuai dengan ketentuan yang ada. Bahkan jauh dari kemampuan mereka. Seringkali jatah mereka untuk persediaan menghadapi musim panen berikutnya sudah disita para penarik pajak.

Walau Raden Said putra seorang bangsawan dia lebih menyukai kehidupan yang bebas, yang tidak terikat oleh adat istiadat kebangsawanan. Dia gemar bergaul dengan rakyat jelata atau dengan segala lapisan masyarakat, dari yang paling bawah hingga paling atas. Justru karena pergaulannya yang supel itulah dia banyak mengetahui seluk beluk kehidupan rakyat Tuban.

Niat untuk mengurangi penderitaan rakyat sudah disampaikan kepada ayahnya. Tapi agaknya ayahnya tak bisa berbuat banyak. Dia cukup memahami posisi ayahnya sebagai adipati bawahan Majapahit. Tapi niat itu tak pernah padam. Jika malam-malam sebelumnya dia sering berada di dalam kamarnya sembari mengumandangkan ayat-ayat suci Al Qur’an maka sekarang dia keluar rumah.

Di saat penjaga gudang Kadipaten tertidur lelap, Raden Said mengambil sebagian hasil bumi yang ditarik dari rakyat untuk disetorkan ke Majapahit. Bahan makanan itu dibagi-bagikan kepada rakyat yang sangat membutuhkannya. Hal ini dilakukan tanpa sepengetahuan mereka.

Tentu saja rakyat yang tak tahu apa-apa itu menjadi kaget bercampur girang menerima rezeki yang tak diduga-duga. Walaupun mereka tak pernah tahu siapa gerangan yang memberikan rezeki itu, sebab Raden Said melakukannya di malam hari secara sembunyi-sembunyi.

Bukan hanya rakyat yang terkejut atas rezeki yang seakan turun dari langit itu. Penjaga Kadipaten juga merasa kaget, hatinya kebat-kebit, soalnya makin hari barang-barang yang hendak disetorkan ke pusat kerajaan Majapahit itu makin berkurang.

Ia ingin mengetahui siapakah pencuri barang hasil bumi di dalam gudang itu. Suatu malam ia sengaja mengintip dari kejauhan, dari balik sebuah rumah, tak jauh dari gudang Kadipaten.

Dugaannya benar, ada seseorang membuka pintu gudang, hampir tak berkedip penjaga gudang itu memperhatikan pencuri itu. Dia hampir tak percaya, pencuri itu adalah Raden Said, putra junjungannya sendiri.

Untuk melaporkannya sendiri kepada Adipati Wilatikta ia tak berani. Kawatir dianggap membuat fitnah. Maka penjaga gudang itu hanya minta dua orang saksi dari sang Adipati untuk memergoki pencuri yang mengambil hasil bumi rakyat yang tersimpan di gudang.

Raden Said tak pernah menyangka bahwa malam itu perbuatannya bakal ketahuan. Ketika ia hendak keluar dari gudang sambil membawa bahan-bahan makanan tiga orang prajurit Kadipaten menangkapnya beserta barang bukti yang dibawanya. Raden Said dibawa ke hadapan ayahnya.

Adipati Wilatikta marah melihat perbuatan anaknya itu. Raden Said tidak menjawab untuk apakah dia mencuri barang-barang hasil bumi yang hendak disetorkan ke Majapahit itu.

Tapi untuk itu Raden Said harus mendapat hukuman, karena kejahatan mencuri itu baru pertama dilakukannya maka dia hanya mendapat hukuman cambuk dua ratus kali pada tangannya. Kemudian disekap selama beberapa hari, tak boleh keluar rumah. Jerakah Raden Said atas hukuman yang sudah diterimanya?

Sesudah keluar dari hukuman dia benar-benar keluar dari lingkungan istana. Tak pernah pulang sehingga membuat cemas ibu dan adiknya. Apa yang dilakukan Raden Said selanjutnya?

Dia mengenakan topeng khusus, berpakaian serba hitam dan kemudian merampok harta orang-orang kaya di Kabupaten Tuban. Terutama orang kaya yang pelit dan para pejabat Kadipaten yang curang.

Harta hasil rampokan itupun diberikannya kepada fakir miskin dan orang-orang yang menderita lainnya. Tapi ketika perbuatannya ini mencapai titik jenuh ada saja orang yang bermaksud mencelakakannya.

Ada seorang pemimpin perampok sejati yang mengetahui aksi Raden Said menjarah harta pejabat kaya, kemudian pemimpin rampok itu mengenakan pakaian serupa dengan pakaian Raden Said, bahkan juga mengenakan topeng seperti topeng Raden Said juga.

Pada suatu malam, Raden Said yang baru saja menyelesaikan shalat Isya’ mendengar jerit tangis para penduduk desa yang kampungnya sedang dijarah perampok.

Dia segera mendatangi tempat kejadian itu. Begitu mengetahui kedatangan Raden Said kawanan perampok itu segera berhamburan melarikan diri. Tinggal pemimpin mereka yang sedang asyik memperkosa seorang gadis cantik.

Raden Said mendobrak pintu rumah si gadis yang sedang diperkosa. Di dalam sebuah kamar dia melihat seseorang berpakaian seperti dirinya, juga mengenakan topeng serupa sedang berusaha mengenakan pakaiannya kembali. Rupanya dia sudah selesai memperkosa gadis itu.

Raden Said berusaha menangkap perampok itu. Namum pemimpin rampok itu berhasil melarikan diri. Mendadak terdengar suara kentongan dipukul bertalu-talu, penduduk dari kampung lain berdatangan ke tempat itu. Pada saat itulah si gadis yang baru diperkosa perampok tadi menghamburkan diri dan menangkap erat-erat tangan Raden Said. Raden Said pun jadi panik dan kebingungan. Para pemuda dari kampung lain menerobos masuk dengan senjata terhunus. Raden Said ditangkap dan dibawa ke rumah kepala desa.

Kepala desa yang merasa penasaran mencoba membuka topeng di wajah Raden Said. Begitu mengetahui siapa orang dibalik topeng itu sang kepala desa jadi terbungkam.

Sama sekali tak disangkanya bahwa perampok itu adalah putra junjungannya sendiri yaitu Raden Said. Gegerlah masyarakat pada saat itu. Raden Said dianggap perampok dan pemerkosa. Si gadis yang diperkosa adalah bukti kuat dan saksi hidup atas kejadian itu.

Sang kepala desa masih berusaha menutup aib junjungannya. Diam-diam membawa Raden Said ke istana Kadipaten Tuban tanpa diketahui orang banyak. Tentu saja sang Adipati menjadi murka. Raden Said yang selama ini selalu merasa sayang dan selalu membela anaknya kali ini juga naik pitam. Raden Said diusir dari wilayah Kadipaten Tuban.

“Pergi dari Kadipaten Tuban ini! Kau telah mencoreng nama baik keluargamu sendiri! Pergi! Jangan kembali sebelum kau dapat menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten Tuban ini dengan ayat-ayat Al Qur’an yang sering kau baca di malam hari!”

Sang Adipati Wilatikta juga sangat terpukul atas kejadian itu. Raden Said yang diharapkan dapat menggantikan kedudukannya selaku Adipati Tuban ternyata telah menutup kemungkinan kearah itu. Sirna sudah segala harapan sang Adipati.

Hanya ada satu orang yang tak dapat mempercayai perbuatan Raden Said, yaitu Dewi Rasawulan, adik Raden Said, yang yakin bahwa Raden Said itu berjiwa bersih luhur dan sangat tidak mungkin melakukan perbuatan keji. Dewi Rasawulan yang sangat menyayangi kakaknya itu merasa kasihan, tanpa sepengetahuan ayah dan ibunya dia meninggalkan istana Kadipaten Tuban untuk mencari Raden Said untuk diajak pulang.

Mencari Guru Sejati
Kemanakah Raden Said sesudah diusir dari Kadipaten Tuban? Ternyata ia mengembara tanpa tujuan pasti. Pada akhirnya dia menetap di hutan Jatiwangi. Selama bertahun-tahun dia menjadi perampok budiman. Mengapa disebut perampok budiman? Karena hasil rampokan itu tak pernah dimakannya. Seperti dulu, selalu diberikan kepada fakir miskin.

Yang dirampoknya hanya para hartawan atau orang kaya yang kikir, tidak menyantuni rakyat jelata, dan tidak mau membayar zakat.

Di hutan Jatiwangi dia membuang nama aslinya. Orang menyebutnya sebagai Brandal Lokajaya.

Pada suatu hari, ada seorang berjubah putih lewat di hutan Jatiwangi. Dari jauh Brandal Lokajaya sudah mengincarnya. Orang itu membawa sebatang tongkat yang gagangnya berkilauan. Terus diawasinya orang tua berjubah putih itu. Setelah dekat dia hadang langkahnya. Tanpa banyak bicara lagi direbutnya tongkat itu dari tangan lelaki berjubah putih. Karena tongkat itu dicabut dengan paksa maka orang berjubah putih itu jatuh tersungkur.

Dengan susah payah orang itu bangun, sepasang matanya mengeluarkan air walau tak ada suara tangis dari mulutnya. Raden Said pada saat itu sedang mengamat-amati gagang tongkat yang dipegangnya. Ternyata tongkat itu bukan terbuat dari emas, hanya gagangnya saja terbuat dari kuningan sehingga berkilauan tertimpa cahaya matahari, seperti emas.

Raden Said heran melihat orang itu menangis. Segera diulurkannya kembali tongkat itu,”Jangan menangis, ini tongkatmu kukembalikan”.

“Bukan tongkat ini yang kutangisi,” ujar lelaki itu sembari memperlihatkan beberapa batang rumput di telapak tangannya. “Lihatlah! Aku telah berbuat dosa, berbuat kesia-siaan. Rumput ini tercabut ketika aku jatuh tersungkur tadi”.

“Hanya beberapa lembar rumput. Kau merasa berdosa?”, tanya Raden Said heran. “Ya, memang berdosa! Karena kau mencabutnya tanpa suatu keperluan. Andaikata kucabut guna makanan ternak itu tidak mengapa. Tapi untuk suatu kesia-siaan benar-benar suatu dosa!”, jawab lelaki itu.

Hati Raden Said agak tergetar atas jawaban yang mengandung nilai iman itu. “Anak muda sesungguhnya apa yang kau cari di hutan ini?” “Saya menginginkan harta”, “Untuk apa?” “Saya berikan kepada fakir miskin dan penduduk yang menderita”. “Hem, sungguh mulia hatimu, sayang… caramu mendapatkannya yang keliru” “Orang tua… apa maksudmu?” “Boleh aku bertanya anak muda?”, desah orang tua itu. “Jika kau mencuci pakaianmu yang kotor dengan air kencing, apakah tindakanmu itu benar?”

“Sungguh perbuatan bodoh,” sahut Raden Said. “Hanya menambah kotor dan bau pakaian itu saja”.

Lelaki itu tersenyum. “Demikian pula amal yang kau lakukan. Kau bersedekah dengan barang yang didapat secara haram, merampok atau mencuri, itu sama halnya mencuci pakaian dengan air kencing”.

Raden Said tercekat. Lelaki itu melanjutkan ucapannya,”Allah itu adalah zat yang baik, hanya menerima amal dari barang yang baik atau halal”.

Raden Said makin tercengang mendengar keterangan itu. Rasa malu mulai menghujam lubuk hatinya. Betapa keliru perbuatannya selama ini.

Dipandangnya sekali lagi wajah lelaki berjubah putih itu. Agung dan berwibawa namun mencerminkan pribadi yang welas asih. Dia mulai suka dan tertarik pada lelaki berjubah putih itu.

“Banyak hal yang terkait dalam usaha mengentas kemiskinan dan penderitaan rakyat saat itu. Kau tidak bisa merubahnya hanya dengan memberi bantuan makan dan uang kepada para penduduk miskin. Kau harus memperingatkan para penguasa yang zalim agar mau berubah caranya memerintah yang sewenang-wenang, kau juga harus dapat membimbing rakyat agar dapat meningkatkan taraf kehidupannya!”.

Raden Said makin terpana, ucapan seperti itulah yang didambakannya selama ini. “Kalau kau mau kerja keras, dan hanya ingin beramal dengan cara yang mudah maka ambillah itu. Itu barang halal. Ambillah sesukamu!”

Berkata demikian lelaki itu menunjuk pada sebatang pohon aren. Seketika pohon itu berubah menjadi emas seluruhnya. Sepasang mata Raden Said terbelalak. Dia adalah seorang pemuda sakti, banyak ragam pengalaman yang telah dikecapnya. Berbagai ilmu yang aneh-aneh telah dipelajarinya. Dia mengira orang itu mempergunakan ilmu sihir, kalau benar orang itu mengeluarkan ilmu sihir ia pasti dapat mengatasinya.

Tapi, setelah ia mengerahkan ilmunya, pohon aren itu tetap masih menjadi emas. Berarti orang itu tidak menggunakan sihir. Ia benar-benar merasa heran dan penasaran. Ilmu apakah yang telah dipergunakan orang itu sehingga mampu merubah pohon aren menjadi emas?

Selama beberapa saat Raden Said terpukau di tempatnya berdiri. Dia mencoba memanjat pohon aren itu. Benar-benar berubah menjadi emas seluruhya. Ia ingin mengambil buah aren yang telah berubah menjadi emas berkilauan itu. Mendadak buah aren itu rontok, berjatuhan mengenai kepala Raden Said. Pemuda itu terjerembab ke tanah. Roboh dan pingsan.

Ketika ia sadar, buah aren yang rontok itu telah berubah lagi menjadi hijau seperti aren-aren lainnya. Raden Said bangkit berdiri, mencari orang berjubah putih tadi. Tapi yang dicarinya sudah tak ada di tempat.

Ucapan orang tua itu masih terngiang di telinganya. Tentang beramal dengan barang haram yang disamakan dengan mencuci pakaian dengan air kencing. Tentang berbagai hal yang terkait dengan upaya memberantas kemiskinan.

Raden Said mengejar orang itu. Segenap kemampuan dikerahkannya untuk berlari cepat akhirnya dia dapat melihat bayangan orang itu dari kejauhan.

Sepertinya santai saja orang itu melangkahkan kakinya, tapi Raden Said tak pernah bisa menyusulnya. Jatuh bangun, terseok-seok dan berlari lagi, demikianlah, setelah tenaganya terkuras habis dia baru sampai di belakang lelaki berjubah putih itu.

Lelaki berjubah putih itu berhenti, bukan karena kehadiran Raden Said melainkan di depannya terbentang sungai yang cukup lebar. Tak ada jembatan, dan sungai itu tampaknya dalam, dengan apa dia harus menyeberang.

“tunggu… “, ucap Raden Said ketika melihat orang tua itu hendak melangkahkan kakinya lagi. “Sudilah Tuan menerima saya sebagai murid…”, pintanya. “Menjadi muridku?”, tanya orang itu. “Mau belajar apa?” “Apa saja asal Tuan menerima saya sebagai murid…” “Berat, berat sekali anak muda, bersediakah kau menerima syarat-syaratnya?” “Saya bersedia…”

Lelaki itu kemudian menancapkan tongkatnya di tepi sungai. Raden Said diperintahkan menungguinya. Tak boleh beranjak dari tempat itu sebelum lelaki itu kembali menemuinya. Raden Said bersedia menerima syarat ujian itu.

Selanjutnya lelaki itu menyeberangi sungai. Sepasang mata Raden Said terbelalak heran, lelaki itu berjalan di atas air bagaikan berjalan di daratan saja. Kakinya tidak basah terkena air. Ia semakin yakin bahwa calon gurunya itu adalah seorang lelaki berilmu tinggi, waskita dan mungkin saja golongan para wali.

Setelah lelaki itu hilang dari pandangan Raden Said, pemuda itu duduk bersila dia teringat suatu kisah ajaib yang dibacanya di dalam Al Qur’an yaitu kisah Ashabul Kahfi, maka ia segera berdoa kepada Tuhan supaya ditidurkan seperti para pemuda di goa Kahfi ratusan tahun silam.

Doanya dikabulkan. Raden Said tertidur dalam samadinya selama tiga tahun. Akar dan rerumputan telah merambati sekujur tubuhnya dan hampir menutupi sebagian besar anggota tubuhnya.

Setelah tiga tahun lelaki berjubah putih itu datang menemui Raden Said. Tapi Raden Said tak bisa dibangunkan. Barulah setelah mengumandangkan azan, pemuda itu membuka sepasang matanya.

Tubuh Raden Said dibersihkan, diberi pakaian baru yang bersih. Kemudian dibawa ke Tuban. Mengapa ke Tuban? Karena Lelaki berjubah putih itu adalah Sunan Bonang. Raden Said kemudian diberi pelajaran agama sesuai dengan tingkatannya, yaitu tingkat para waliullah. Di kemudian hari Raden Said terkenal sebagai Sunan Kalijaga.

Kalijaga artinya yang menjaga sungai. Karena dia pernah bertapa di tepi sungai. Ada yang mengartikan Sunan Kalijaga adalah penjaga aliran kepercayaan yang hidup di masa itu. Dijaga maksudnya supaya tidak membahayakan ummat, melainkan diarahkan kepada ajaran Islam yang benar.

Ada juga yang mengartikan legenda pertemuan Raden Said dengan Sunan Bonang hanya sekedar simbol saja. Kemanapun Sunan Bonang pergi selalu membawa tongkat atau pegangan hidup, itu artinya Sunan Bonang selalu membawa agama, membawa iman sebagai penunjuk jalan kehidupan.

Raden Said kemudian disuruh menunggui tongkat atau agama di tepi sungai. Itu artinya Raden Said diperintah untuk terjun ke dalam kancah masyarakat Jawa yang banyak mempunyai aliran kepercayaan dan masih berpegang pada agama lama yaitu Hindu dan Budha.

Sunan Bonang mampu berjalan di atas air sungai tanpa amblas ke dalam sungai. Bahkan sedikit pun ia tak terkena percikan air sungai. Itu artinya Sunan Bonang dapat bergaul dengan masyarakat yang berbeda agama tanpa kehilangan identitas agama yang dianut oleh Sunan Bonang sendiri yaitu Islam.

Kerinduan Seorang Ibu
Setelah bertahun-tahun ditinggalkan kedua anaknya, permaisuri Adipati Wilatikta seperti kehilangan gairah hidup. Terlebih setelah usaha Adipati Tuban menangkap para perampok yang mengacau Kadipaten Tuban membuahkan hasil. Hati ibu Raden Said seketika berguncang.

Kebetulan saat ditangkap oleh para prajurit Tuban, kepala perampok itu mengenakan pakaian dan topeng yang persis dikenakan Raden Said. Rahasia yang selama ini tertutup rapat terbongkarlah sudah. Dari pengakuan perampok itu tahulah Adipati Tuban bahwa Raden Said tidak bersalah.

Ibu Raden Said menangis sejadi-jadinya. Dia benar-benar telah menyesal mengusir anak yang sangat disayanginya itu. Sang Ibu tak pernah tahu bahwa anak yang didambakannya itu bertahun-tahun kemudian sudah kembali ke Tuban. Hanya saja tidak langsung ke Istana Kadipaten Tuban, melainkan ke tempat tinggal Sunan Bonang.

Untuk mengobati kerinduan sang Ibu. Tidak jarang Raden Said mengerahkan ilmunya yang tinggi. Yaitu membaca Qur’an dari jarak jauh lalu suaranya dikirim ke istana Tuban.

Suara Raden Said yang merdu itu benar-benar menggetarkan dinding-dinding istana Kadipaten. Bahkan mengguncangkan isi hati Adipati Tuban dan isterinya. Tapi Raden Said, masih belum menampakkan diri. Banyak tugas yang masih dikerjakannya. Diantaranya menemukan adiknya kembali. Pada akhirnya, dia kembali  bersama adiknya yaitu Dewi Rasawulan. Tak terkirakan betapa bahagianya Adipati Tuban dan isterinya menerima kedatangan putra-putri yang sangat dicintainya itu.

Karena Raden Said tidak bersedia menggantikan kedudukan ayahnya, akhirnya kedudukan Adipati Tuban diberikan kepada cucunya sendiri yaitu putra Dewi Rasawulan dan Empu Supa.

Raden Said meneruskan pengembaraannya. Berdakwah atau menyebarkan Islam di Jawa Tengah hingga Jawa Barat. Beliau sangat arif dan bijaksana dalam berdakwah sehingga dapat diterima dan dianggap sebagai Guru se Tanah Jawa. Dari petani, pejabat, pedagang, bangsawan dan raja-raja dapat menerima ajaran Sunan Kalijaga yang berciri khas Jawa namun tetap Islami. Dalam usia lanjut beliau memilih Kadilangu sebagai tempat tinggalnya yang terakhir. Hingga sekarang beliau dimakamkan di Kadilangu, Demak. Semoga amal perjuangannya diterima di sisi Allah. Amin.

Sunan Bayat dan Syekh Domba (Murid Sunan Kalijaga)
Murid-murid Sunan Kalijaga banyak sekali, seperti Sunan Bayat, Sunan Geseng, Ki Ageng Sela, Empu Supa, dan lain-lain. Di sini kami kisahkan tentang Sunan Bayat dan Syekh Domba.

Bupati Semarang pada waktu itu bernama Ki Pandhanarang. Ia terkenal sebagai seorang bupati yang kaya raya. Disamping sehari-harinya dikenal sebagai seorang bupati, ia juga berbakat sebagai seorang pedagang. Nah, karena mentalnya mental pedagang maka dia suka keluyuran keluar masuk pasar setiap pagi.

Ia pandai mengambil keuntungan dari setiap usahanya. Ia berdagang emas, intan, permata hingga sapi, kerbau, dan kambing. Kekayaannya pada saat itu sungguh diatas rata-rata kekayaan pejabat. Istrinya banyak, anaknya banyak dan relasinya juga banyak sehingga kedudukannya luar biasa kuatnya. Tak ada seorang pun yang mampu menggoyangkannya bahkan pejabat di tingkat pusat sekalipun. Sayang ada satu sifatnya yang tak baik yaitu kikirnya setengah mati, kikir alias bakhil alias cethil bin medhit!.

Ia mempunyai beberapa kendaraan bagus dan jempolan. Pada jaman sekarang bisa sekelas Jaguar, Mercedes, Ferrari, ataupun BMW, namun pada saat itu adalah seekor kuda terbaik dari Sumbawa. Nah, karena kuda dan sapinya banyak maka tiap pagi ia membutuhkan berkarung-karung rumput segar untuk santapan kuda dan sapinya.

Suatu ketika di musim kemarau, para pegawainya yang bertugas mencari rumput agak terlambat menyediakan santapan kudanya. Nah, pada saat itu datanglah seorang penjual rumput memasuki halaman rumahnya. Umumnya pada waktu itu sepikul rumput berharga dua puluh lima ketheng. Tapi ia menawarnya dengan harga lima belas ketheng. Anehnya tanpa berbelit-belit penjual rumput itu memberikannya begitu saja.

Esoknya penjual rumput bercaping lebar itu datang lagi. Kali ini ia datang lebih pagi dengan membawa rumput yang lebih segar dari kemarin. Bertanya Ki Pandhanarang,”Pak Tua, sepagi ini kau sudah membawa rumput sesegar ini. Darimana kau memperolehnya?”. “Dari Gunung Jabalkat, Tuan…”, jawab si penjual rumput.

Ki Pandhanarang merasa heran, sebab Gunung Jabalkat adalah tempat yang sangat jauh sekali. Setelah rumput itu dibayar seperti harga kemarin orang itu tidak segera beranjak pergi.

“Hei Pak Tua, apalagi yang kau tunggu?”. “Hamba ingin minta sedekah Tuan”. Ki Pandhanarang merogoh sakunya, tanpa menoleh ia lemparkan seketheng di hadapan kaki si penjual rumput lalu ia beranjak pergi. Tapi si penjual rumput buru-buru maju menghadang. “Hamba tidak minta sedekah uang, yang hamba minta adalah bedhug berbunyi di Semarang”.

Ki Pandhanarang mendelik penasaran. Minta bedhug berbunyi di Semarang? Itu sama halnya dengan permintaan mendirikan Masjid, dan menyebarkan agama Islam di Semarang. Ah, jangankan berdakwah wong shalat lima waktu saja sudah enggan melaksanakannya.

“Kau jangan minta yang aneh-aneh Pak Tua. Sudah ambil uang itu dan cepat pergi dari sini”. “Hamba tidak butuh uang. Dapatkah uang dan harta menjamin keselamatan kita di akhirat kelak?”. Ki Pandhanarang merah wajahnya pertanda marah. “Hai Pak Tua! Jangan menyepelekan uang dan harta. Dengan uang dan harta itulah seseorang terangkat derajatnya dan dihormati semua orang”.

Dengan beraninya penjual rumput itu berkata,”Hamba kira tidak! Justru orang yang menjadi budak uang dan harta akan menjadi orang yang hina dina dan tidak berbudi pekerti karena terbiasa menghalalkan segala cara!”

“Pak tua! Bicaramu makin tak karuan, apakah dengan pekerjaanmu sebagai penjual rumput itu kau merasa mulia. Apakah segala kebutuhan hidupmu, anak istrimu tercukupi?”

“Soal harta dan kebutuhan hidup hamba selalu ikhlas terhadap apa yang diberikan Tuhan. Kalau Cuma menginginkan emas permata, sekali cangkul hamba bisa setiap saat mengeruknya dari dalam tanah”

“huh! Omonganmu semakin sombong saja pak Tua! Coba buktikan omong besarmu itu! Jika memang terbukti aku akan berguru kepadamu, namun jika kau hanya berkoar atau main sulap maka kau akan kuhukum dengan hukuman seberat-beratnya!”

Ki Pandhanarang lalu menyuruh pembantunya mengambil cangkul dan diberikan kepada si penjual rumput. “Hayo! Buktikan ucapanmu!”

Dengan tenang penjual rumput itu menerima cangkul. Lalu diayunkannya pelan, dan ketika ditarik dari dalam tanah keluarlah bongkahan emas permata. Semua orang terbelalak takjub melihat kejadian itu. Ki Pandhanarang yang mata duitan itu berdiri terpaku di tempatnya sampai-sampai ia tak menyadari lelaki penjual rumput itu sudah pergi meninggalkan halaman rumahnya.

Ki Pandhanarang baru sadar bahwa ia berhadapan dengan orang berilmu tinggi. Maka segera dikejarnya kemana orang itu pergi. Sebagai seorang lelaki ia ingin memenuhi janjinya untuk berguru kepada si penjual rumput. Setelah mengerahkan segenap tenaganya barulah is berhasil menyusul lelaki penjual rumput itu.

“Buat apa kau menyusulku? Masih kurangkah bongkahan emas permata tadi bagimu?” tegur si penual rumput itu. “Bukan, bukan untuk itu saya kemari”. “Lalu apa maumu?” “Saya ingin berguru kepada Tuan” “Berguru? Mau berguru apa, menimbun uang dan harta?”. “Bukan! Saya ingin memperdalam agama Islam sehingga nantinya dapat saya gunakan untuk membimbing rakyat Semarang”. “Jadi kau mau memenuhi permintaanku untuk membunyikan bedhug di Semarang?”. “Benar Tuan!”. “Berkorban dengan segala harta dan jiwa?”. “Saya bersedia…”. “Kalau begitu kau harus menjalankan ibadah selama hidupmu, jangan sampai teledor menegakkan shalat lima waktu. Kau harus beramal, dirikan masjid dan memberikan hartamu kepada para fakir miskin dan orang-orang yang berhak menerimanya. Jangan sekali-kali kau terpikat oleh harta kecuali hanya sekedarnya saja sebagai bekal ibadah. Orang berguru itu harus meninggalkan rumah, maka jika segala hal yang kupesan tadi sudah kau laksanakan segeralah kau susul aku ke Gunung Jabalkat”.

“Wahai Tuan yang arif dan bijaksana. Ijinkanlah saya mengetahui siapakah gerangan Tuan ini sesungguhnya?” “Aku adalah Sunan Kalijaga yang diperintah para dewan wali untuk mengajakmu bergabung sebagai anggota Walisongo, menggantikan Syekh Siti Jenar yang telah dihukum mati”.

Mendengar nama besar Sunan Kalijaga serta merta Ki Pandhanarang berlutut untuk menghormat, namun seketika itu juga Sunan Kalijaga lenyap dari pandangan matanya.

Ki Pandhanarang pulang ke rumahnya. Kini ia berubah total. Dulu pelit sekarang menjadi dermawan sekali. Suka bersedekah. Ia juga yang memprakarsai dan menanggung biaya untuk pembangunan masjid di Semarang. Ia juga yang memilih kayu terbaik beserta kulit sapi yang sangat bagus untuk digunakan sebagai bedhug.

Ia membayar zakat sebagaimana keharusannya setiap muslim yang diwajibkan. Ia menyantuni anak yatim dan fakir miskin. Semua itu dilakukan dengan ikhlas karena Allah. Bukan sekedar untuk publikasi agar namanya terkenal. Setelah tiba saatnya ia bermaksud menyusul Sunan Kalijaga di Gunung Jabalkat.

Salah seorang dari istrinya memaksa hendak ikut ke Gunung Jabalkat mendampingi dirinya. “Baiklah, kau boleh ikut tapi jangan membawa harta. Itulah pesan guruku, harta hanya menjadi penghalang bagi tujuan luhur cita-cita kita”.

Keduanya lalu berpakaian serba putih. Keduanya berjalan kaki ke Gunung Jabalkat. Ki Pandhanarang berjalan di muka dengan membawa tongkat biasa. Istrinya berjalan di belakang dengan membawa tongkat bambu yang di dalam lubangnya diisi dengan emas dan permata.

Ki Pandhanarang yang berjalan di depan dicegat kawanan rampok, namun karena ia tidak membawa harta ia segera dilepaskan begitu saja. Sebaliknya, Nyai Pandhanarang dicegat tiga perampok. Tongkatnya dirampas, isinya dikeluarkan dan dijadikan rebutan. Tiga perampok itu bersorak kegirangan setelah mendapat emas dan permata milik Nyai Pandhanarang. Sementara Nyai Pandhanarang menangis tersedu-sedu. Ia berteriak-teriak memanggil suaminya yang berjalan jauh di depan.

“Kakangmas…! Apakah kau sudah lupa pada istrimu? Ini ada orang tiga berbuat salah”. Konon karena peristiwa itulah, kini tempat kejadian itu dinamakan SALATIGA.

Akhirnya Nyai Pandhanarang dapat menyusul suaminya. Suaminya tidak kaget mendengar penuturan istrinya karena ia sudah tahu bahwa sejak berangkat dari rumah, istrinya memang membawa emas dan permata. “Itulah, kau tidak mematuhi saran guruku. Harta hanya menjadi penghalang tujuan luhur kita. Sekarang kau berjalanlah di muka”.

Nyai Pandhanarang kemudian berjalan di muka. Tidak berapa lama kemudian Ki Pandhanarang dicegat seorang perampok yang dikenal sebagai Ki Sambangdalan. “Serahkan hartamu atau kau akan kuhajar hingga babak belur!?”, demikian ancam Ki Sambangdalan. “Aku tidak membawa harta!” jawab Ki Pandhanarang. Perampok itu tidak percaya, kemudian ia merampas tongkat Ki Pandhanarang. Tentu saja tongkat itu tidak ada emasnya karena hanya terbuat dari kayu biasa. “Dimana kau sembunyikan hartamu?” hardik Ki Sambangdalan. “Aku tidak membawa harta!”, jawab Ki Pandhanarang sambil terus melangkah. Anehnya Ki Sambangdalan membiarkan saja korbannya berjalan. Ia hanya berani mengancam saja tapi tidak berani memukuli Ki Pandhanarang.

Ki Sambangdalan terus mengikuti kemana Ki Pandhanarang berjalan sambil terus mengeluarkan ancaman. Lama-lama Ki Pandhanarang bosan dan risih mendengar ancaman Ki Sambangdalan. Maka ia berkata,”Kau ini bengal, keras kepala seperti domba saja!”

Aneh, seketika kepala Ki Sambangdalan berubah menjadi kepala seekor domba atau kambing. Tapi ia tidak menyadarinya. Ia terus mengukuti kemana Ki Pandhanarang pergi. Suatu ketika keduanya sampai di tepi sungai. Melihat air Ki Sambangdalan merasa risih, ia takut terkena basah, lalu ia melihat bayangannya sendiri di air jernih maka menjeritlah ia. “Waduuuuhhh! Ampuuuuuuun, mengapa kepalaku berubah menjadi domba??”. “Itu karena kesalahanmu sendiri”, ujar Ki Pandhanarang. “Kembalikan ujud kepalaku seperti semula…”, pinta Ki Sambangdalan. Ki Pandhanarang tidak menjawab. Ki Sambangdalan menjadi takut, maka ia terus ikut kemanapun Ki Pandhanarang pergi. Perjalanan pun sampai di tempat tujuan, yaitu Gunung Jabalkat. Tapi pada saat itu Sunan Kalijaga sedang berdakwah ke luar daerah. Ki Pandhanarang berujar bahwa jika Ki Sambangdalan ingin menjadi manusia normal kembali, maka ia harus bertirakat dan bertobat. Untuk menebus dosanya Ki Sambangdalan harus mengisi jun (padasan) dengan air dibawah bukit. Jun itu tidak tertutup sehingga apabila Ki Sambangdalan sampai di atas bukit airnya sudah habis. Tapi karena ingin kepalanya kembali seperti semula maka ia tidak putus asa, tiap hari dilakukannya pekerjaan itu sambil beristighfar, tobat minta ampun kepada Tuhan.

Pada suatu hari Sunan Kalijaga datang ke tempat itu. Mereka bertiga segera duduk bersimpuh. Secara ajaib kepala Ki Sambangdalan kembali seperti ke ujud semula. Jun tempat wudhu tiba-tiba penuh dengan air tanpa ada yang mengisinya. Ketiga orang itu akhirnya belajar dengan tekun ilmu syariat dan hakikat agama Islam atas bimbingan Sunan Kalijaga yang diberi gelar Guru se-Tanah Jawa.

Akhirnya mereka dapat mencapai tataran yang tinggi berkat ketekunan dan kesabarannya. Ki Pandhanarang menjadi seorang wali dan disebut dengan gelar Sunan Bayat karena menyebarkan agama Islam di daerah Bayat. Sementara Ki Sambangdalan juga menjadi seorang wali dan disebut sebagai Syekh Domba karena kepalanya pernah menjadi domba.

Sunan Kalijaga memang sengaja menyadarkan Bupati Semarang tersebut untuk menjadi pengganti Syekh Siti Jenar yang telah dihukum  mati karena dianggap sesat dan berlawanan dengan ajaran Walisongo. Setelah menjadi wali Ki Pandhanarang atau Sunan Bayat mempunyai beberapa karomah, diantaranya adalah pada suatu ketika ia menyamar sebagai pelayan tukang pembuat kue srabi. Ikut berdagang ke pasar sambil membawakan kayu bakar. Pada suatu hari pasar sangat ramai banyak orang membeli kue srabi, karena laris kayunya habis. Majikannya marah-marah karena Sunan Bayat tidak membawa kayu yang banyak sehingga tidak cukup digunakan melayani para pembeli.

“Kau teledor! Sekarang bagaimana? Apakah tanganmu itu dapat kau gunakan sebagai pengganti kayu bakar?”, hardik si majikan.

Tanpa pikir panjang lagi Sunan Bayat memasukkan tangannya ke dalam tungku dapur dan tangan itu menyala-nyala mengeluarkan api. Gemparlah hari itu. Banyak orang melihat dengan kepala mata mereka sendiri, tangan Sunan Bayat yang masuk ke dalam tungku itu mengeluarkan api. Dan banyak pula orang yang membeli kue srabi.

Setelah tahu bahwa pelayannya adalah Sunan Bayat mantan bupati Semarang maka penjual kue srabi itu minta ampun berkali-kali, akhirnya suami istri penjual kue srabi itu menjadi pengikut Sunan Bayat yang setia.


Baca SelengkapnyaSunan Kalijaga

Muhammad Kahlil Rayhan

Muhammad Kahlil Rayhan